Pengetahuan Rasional dan Pengetahuan Irasional Dalam Menjawab Apa Itu Makna Hidup : Refleksi Dalam Konteks Kekristenan (ditulis tanggal 13 Februari 2011)

Sekilas muncul pertanyaan yang menggelitik hati dan pikiranku. Pertanyaan itu muncul dari kegiatan yang baru saja aku buat dan ikuti. Sore itu aku membuat sebuah diskusi “diskusi GMKI cabang Salatiga, 14 Februari 2011. Materi diskusi itu dibawakan oleh Fredy, Ketua Cabang (Kecab) GMKI cabang salatiga, mengangkat tentang sebuah buku yang ditulis oleh Leo Tolstoy berjudul “A Confession” yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Tanpa memakan waktu akhirnya diskusi dimulai. Secara perlahan tapi pasti dijelaskan bahwa Tolstoy adalah seorang sastrawan, filsuf, seorang anarkis Kristen, dan seorang yang menginspirasi banyak tokoh perjuangan tanpa kekerasan seperti Mahadma Gandi, Marthin Luther King Junior dan banyak orang Kristen di wilayah Eropa. Tolstoy lahir pada tahun 1822 di Yasnaya Polyana, Rusia, dan berasal dari keluarga yang kaya. Memang orang tuanya meninggal pada saat dia masih kecil dan membuat dia harus tinggal dengan Paman dan Bibinya bersama dengan enam saudara kandungnya. Semasa hidupnya dia sudah banyak menghasilkan tulisan dan novel yang sangat terkenal seperti “Anna Karenina”, “War and Peace” , tulisannya mengenai pandangannya terhadap Kristen yang berjudul “The Kingdom Of God Within You” dan masih banyak lagi tulisan lain. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Tolstoy adalah salah satu penulis yang luar biasa dari yang pernah ada.

Dalam “A Confession” diceritakan mengenai pergulatan iman Tolstoy selama hidup. Selama hidup dia sudah melakukan banyak hal, dari hal baik, sampai pada hal yang paling tidak baik. Dia sudah berbuat untuk menolong orang lain, namun juga sudah melakukan perbuatan yang tidak baik dan banyak merugikan bahkan menyakiti orang lain. Pada umur 15 belas tahun dia sudah mempertanyakan, meragukan berbaga doktrin dan ajaran gereja ortodok., hingga pada tahun berikutnya dia betul-betul meninggalkan semua yang berkaitan dengan gereja dan ajarannya. Dia sudah banyak melakukan banyak sekali kejahatan, mulai dari judi, mabuk-mabukan, memeras, merampok ,menindas rakyat kecil, berzinah, membunuh, hingga kejahatan yang sudah sangat sulit dihitung jumlahnya. Namun yang sangat membuat dia sendiri heran, segala perbuatannya itu dianggap bermoral dan dipuji oleh orang sekelas dan sekelilingnya.

Hingga pada suatu saat di masa mudanya dia ikut dalam kemiliteran dan pergi berperang. Pada masa itu kembali banyak sekali kejahatan dan kekejian yang dilakukannya. Kembali dia mendapatkan pujian atas perbuatannya itu. Semua itu terus berlanjut hingga ia keluar dari peperangan dan militer pada umur 27 tahun. Di kemudian masuk ke dalam dunia tulis menulis dan sastra, dimana ia sangat diterima dan dipuji karena kemampuan dan karyanya dalam tulis menulis dan sastra. Masih dalam keheranannya yang sduah lama dialami, dia merasa nyaman dan senang karena diterima di kalangan dan pergauklan barunya. Semua itu tidak bertahan lama. Beberap tahun berjalan, di a kembali merasakana da sesuatu yang salah.

Tolstoy berpikir pada awalnya orang-orang di kalangannya adalah orang yang paling bermoral dan bijak. Orang-orang di kalangannya adalah orang yang mengajar dan menjadi sumber pengetahuan bagi orang lain. Kalangannya adalah mesin penggerak bagi perkembangan kebudayaan, sehingga merasa menjadi sebagai organ terpenting dalam masyarakat. Namun dengan segera dia bisa melihat kenyataan bahwa di dalam kalangannya sendiri dia melihat terjadinya berbagai tindakan amoral, bahkan melebihi yang pernah dia lihat dan lakukan sebelumnya. Sesama orang yang mengajar dan menulis, ternyata saling menjatuhkan. Satu sama yang lain tidak pernah bissa akur dan selalu mencari cara menjatuhkan yang lain. Dan yang lebih membuat Tolstoy tersentak bahwa ternyata orang-orang dari kalangannya mengajar tanpa mereka paham, apa sebenarnya yang mereka ajarkan. Mengapa bias hal itu terjadi?

Semua itu berpangkal pada pertanyaan sederhan yang muncul dalam diri Tolstoy “apa makna hidupku?”. Pertanyaan yang sederhana tetapi tidak dapat lepas dari pikirannya dan seringkali merongrong dirinya. Hal ini jugalah yang membuat dia merasa bahwa berada di kalangannya pada saat itu tidak memberikan jawaban, bahkan membuat dia hidup dalam kemunafikan. Dia terus menjalani kehidupan bersama kalangannya, menulis dan mengajar, tapi dia tidak memahami apa yang dia ajarkan, apalagi mengetahui dan memahami makna hidup. Semua keadaan itu membuat dia merasa hidup dalam sautu kemunafikan, yang sekalipun coba dia ingkari, tetap saja tidak bisa hilang dari dalam dirinya.

Sampai pada suatu saat dia menemukan beberapa pemikiran yang menarik perhatian dan berharap mendapatkan jawaban darinya. Pemikiran itu berasal dari Salomo, Kant, dan Schopenhauer, tetapi yang lebih menonjol dan berpengaruh adalah dari Salomo dan Schopenhauer. Salomo mengatakan bahwa hidup itu adalah kesia-siaan, lebih mengarah pada nihilsme, tampak pada kita pengkhotbah (kalo tidak salah). Dan kemudian terdapat juga pengaruh pemikiran Schopenhauer, dimana dikatakan bahwa hidup adalah kemalangan terbesar. Mengapa demikian?

Kedua berpikiran itu berpangkal pada hal yang hampir sama, bahwa manusia dilahirkan, tumbuh besar dewasa, tua dan menghadapi kematian. Kematian sendiri adalah mutlak dan tidak terelakan bagi setiap manusia. Dalam hidupnya sendiri manusia selalu mencari kebijaksanaan, kearifan, kesenangan, dan kebahagiaan. Tetapi apakah maknanya semua itu apabila manusia harus mati dan semua yang didapat pada akhirnya hanya hilang begitu saja. Memang semua berlanjut. Manusia mempunya keturunan dan hidup tetap berlanjut. Tapi manusia tetap tidak merubah bahwa manusia dan keturunannya pasti akan menghadapi kematian dan semua yang didapatkan akan hilang karena tidak dapat di bawa dalam kematian. Lalu apa makna semua itu? Lalu apabila kenyataannya demikian, apa makna hidup ini? Jawaban yang didapat adalah “tidak ada”.

Mendapatkan jawaban demikian membuat Tolstoy mendapati dirinya dalam keputusasaan. Dirinya seringkali mencoba untuk bunuh diri. Walaupun demikian tetap ada sesuatu dalam dirinya yang membuat dirinya tidak bunuh diri ketika keinginan itu muncul. Setiap hari Tolstoy harus menyembunyikan senapan atau tali, atau segala benda yang bias digunakan untuk membunuh dirinya. Setiap hari dirinya makin dirongrong rasa keputusasaan karena merasa hidup ini adalah kesia-siaan. Tidaka da satupun dalam hidupnya yang bias mengalihkan keputusasaannya itu, pekerjaan, harta, pujian, keluarga, bahkan anak-anaknya sendiri. Dia sendiri mencintai istri dan anak-anaknya, tetapi dia merasa semua itu sia-sia, karena ketika kematian datang semua itu akan lenyap.

Meski diikuti oleh rasa keputusasaan, Tolstoy masih berusaha untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang selalu muncul dalam pikirannya, mengenai apa makna dari hidup. Dia kemudian memutuskan untuk mencari jawaban dari para ilmuwan, dari ilmu ekperimental dan ilmu abstrak. Demi mendapatkan jawaban makna hidupnya, dia mulai mempelajari segala sesuatu yang dapat dia pelajari. Mulai dari kimia, matematika, sosiologi, psikologi, dan bahkan sampai filsafat. Namun semua itu tidak memberikan jawaban, malah meneguhkannya dalam keputusasaan. Semua ilmu yang ada menjawab berbagai hal dalam hidup, dan bahkan tetap sekali dalam menjawab berbagai pertanyaan dalam bidangnya. Usahantya ini bahkan samapi membuat dia menciptakan sitematika dalam menjawab pertanyaannya. Namun bagi Tolsoty semua jawaban ilmu itu tidak bisa menjawab tentang makna kehidupan, malah pertanyaan lain yang muncul dan jawaban yuang didapat tidak relevan untuk pertanyaan Tolstoy.

Keadaan yang demikian semakin membuat dirinya merasa bahwa bunuh diri adalah jalan yang paling tepat. Dia mengetahui bahwa hidup itu adalah sia-sia dan jalan keluarnya adalah kematian. Walaupun demikian tetap saja dia berusaha untuk mencari jawaban dari pertanyaaanya. Kali ini dia berusaha mendapatkan jawaban dengan mempelajari semua orang yang ada disekitarnya. Dia mulai mempelajari orang-orang yang sekelas dengan dia (orang-orang kaya). Yang dia temukan hanyalah suatu kemunafikan dan dia tidak menemukan jawaban dari situ. Tetapi kemudian dia tertarik pada masyarakat pekerja (kelas bawah).

Bagi Tolstoy terdapat perbedaan yang sangat menonjol antara masyarakat kelas atas dan kelas pekerja. Pada masyarakat kelas atas, terdapat berbagai kemunafikan dan usaha untuk melupakan bahwa hidup ini sia-sia. Tetapi pada masyarakat kelas pekerja sangat berbeda. Mereka tahu bahwa mereka akan menghadapi kematian. Lebih dari itu mereka tahu bahwa hidup ini sia-sia. Tetapi mereka masih hidup dan menjalani hidup mereka dengan baik. Satu hal yang menjadi dasar bagi mereka hingga bias menjalani hidup dan membuatnya bermakna, yaitu iman. Iman kepada Tuhan, itulah yang membuat mereka terus hidup dan memberi makna pada hidup mereka.

(selanjutnya silahkan membaca sendiri “A Confession”)

***********

Kembali dalam diskusi GMKI, Kecab melntarkan pertanyaan dengan sedikit pemaparan “

“dalam menjawab pertanyaan Tolstoy, pada akhirnya kembali pada pengetahuan yang irasonal. Hal ini terjadi karena pengetahuan yang rasional ternyata tidak dapat meberikan jawaban dari pertanyaan yang muncul, sedangkan manusia pada akhirnya harus menghadapi kematian. Mengapa demikian?”(saya lupa tepatnya, tetapi berintikan seperti yang sudah ditulis).

Pertanyaan inilah yang sangat menggelitik dan membuat saya kembali berpikir beberapa hal.

Tidak bisa diingkari bahwa ketika manusia hidup, mulai dari lahir, remaja, dewasa, tua, harus menghadapi kematian. Segala sesuatu yang didapat di dalam dunia ini memang tidak dapat dibawa dalam kematian. Dan seperti yang dipikirkan oleh Schopenhauer, Salomo, dan Tolstoy, semua yang didapat hidup ini akan menjadi hilang ketika berada dalam kematian.

Kembali dalam pertanyaan fredy, lalu bagiamana pengetahuan irasional bias memberikan jawaban mengenai makna hidup padahal manusia pasti menghadapi kematian?

Seperti yang telas dituliskan di atas bahwa hidup adalah sia-sia, karena di dalamnya ada kematian. Seringkali banyak orang yang merasa bahwa hidupnya menjadi tidak berguna karena mengetahui bahwa hidup adalah kesia-siaan. Banyak orang yang menemukan kenyataan ini, melalui berbagai bentuk dan wujud. Tetapi semuanya tetap mengarahkan manusia pada satu hal, bahwa hidup itu sia-sia.

Namun pada akhirnya dengan pengetahuan irasional manusia bias menemukan jawaban atas pertanyaan mengenai makna hidup. Manusia dapat menemukan makna hidupnya dengan mendasarkan diri pada keyakinan atau kepercayaan terhadap apa yang disebut dengan “Iman”. Dengan memiliki keimanan terhadap yang transenden, maka manusia akan dpat memberikan makna dan menjalanin hidupnya dengan baik. Memang hal ini adalah hal yang sederhana, tetapi merupakan hal yang sederhana, tetapi sangat sulit dijalankan dan seringkali dilupakan. Mengapa demikian?

Hidup manusia ini hidup tidak hanya dalam keyakinan dan kepercayaan akan iman. Di dalam hidup manusia juga terdapat berbagai hal, seperti realitas, perasaan, akal budi, dan yang paling nyata adalah ilmu pengetahuan rasional. Berdasarkan kenyataan bahwa ilmu-ilmu rasional tidak hanya berguna dalam mempermudah kehidupan manusia, tetapi juga dapat membuat manusia mengingkari pengetahuan yang irasional. Kedua pengetahuan itu seringkali hadir dan berbenturan, hampir tidak bisa bersatu bahkan kadangkala saling menjauh.

Kembali lagi bahwa pengetahuan yang rasional tidak dapat menjawab persoalan mengenai makna hidup. Pengetahuan itu menjawab berbagai fenomena dan realitas manusia dan alam. Namun tidak bisa menjawab makna dari kehidupan, apalagi kembali lagi bahwa hidup ini akan menjadi kesia-sian dan semuanya hilang ketika kematian datang. Dalam hal ini pengetahuan menawarkan jawaban yang sangat mungkin bisa menjawab pertanyaan mengenai makna kehidupan.

Dalam konteks kekristenan. Kitab suci atau Alkitab tidak pernah menyangsikan atau mengingkari bahwa manusia ini hidup, lahir, remaja, dewasa, tua dan mati. Kekristenan juga tidak mengingkari bahwa ketika manusia menghadapi kematian, segala sesuatu yang didapatkan selama hidup tidak iktu terbawa dalam kematian. Alkitab mengisahkan itu semua, dan bias dilihat sepanjang tertulis dari awal Kitab kejadian sampai pada Kitab Wahyu. Tetapi itu semua belum cukup. Ada hal lain lagi yang ditawarkan pengetahuan irasional, terutama dalam konteks kekristenan.

Yang pertama, Tuhan telah menjanjikan keberadaan sorga setelah kematian dimana terdapat hidup kekal. Dalam hal ini masuk ke dalam sorga akhirnya menjadi suatu tujuan pemberhentian terakhir manusia setelah melewati kematian. Sorga dijanjikan kepada orang yang setia kepadanya dan taat di jalannya. Hal ini kemudian memberikan implikasi dalam hidup manusia. Bagi manusia yang ingin masuk dalam kerajaan sorga harus mengakui keberadaan Allah sebagai pencipta, Tuhan Yesus dan roh kudus, tidak hanya menjelang kematian, tetapi bahkan dalam seluruh hidupnya. Dengan demikian akhirnya suatu harapan tentang sorga mengisi hidup manusia dan memberi makna di dalamnya.

Yang kedua, perlu kesadaran dan tindakan berdasarkan kasih. Mengapa demikian? Dengan kasih kita bias menyadari keberadaan orang lain bagi kita sangat penting, tidak hanya secara rasional bahwa manusia adalah makhluk social, tetapi juga secara iman bahwa kita perlu mengasihi sesame kita tanpa memandang latar belakang atau situasi. Yesus emngajarkan hukum kasih, yang pada nyata dapat member makna pada hidup manusia (mendasarkan pada kosep Allah pencipta dan sorga). Hal ini pula yang mendorong Tolstoy pada akhirnya mengarakan pemikirannya pada perjuangan tanpa kekerasan.

Yang ketiga, kita tidak perlu mempertanyakan mengenai hidup dan keberadaan yang transenden apalagi dengan cara dan metode pengetahuan rasional. Yang perlu dilakukan adlah keyakinan dan kepercayaan kepada-Nya. Dengan demikian manusia dapat melihat makna hidupnya, bahwa yang dituju dan dipercaya bukanlah dalam dunia ini, tetapi setelah kita menjadi tidak ada, melewati kematian. Yang perlu dilakukan dalam hidup adalah percaya dan berbuat sesuai kehendak-Nya, sehingga baik setelah kematian ataupun semasa hidup, terdapat makna yang berarti bagi manusia.

ANTARA PERANG JAMAN DULU DAN JAMAN SEKARANG : SALAH SATU PERUBAHAN DI DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT SUKU DAYAK NGAJU (ditulis tanggal 5 Desember 2010)

Pada jaman dahulu, suku dayak, salah satunya Ngaju sering kali berperang. Perang tersebut terjadi antara dua kelompok atau dua kampung ataupun antar rumah betang. Seringkali di dalamnya terjadi kayau mengayau hingga salah satu pihak menang atau terjadi suatu pemecahan konflik melalui cara damai. Fenomena perang tersebut terjadi terus menerus hingga pada tahun 1894 diadakan pertemuan seluruh suku Dayak di Tumbang anoi, yang hasilnya kemudian dikenal sebagai Perjanjian Tumbang Anoi. Salah satu isi dari perjanjian tersebut adalah menghapus kebiasaan mengayau (selain dipakai dalam perang, juga dipakai untuk upacara adat tertentu).

Sekarang kita coba lihat sekarang, apakah masih ada perang di antara sesama Suku Dayak Ngaju? Yang kita lihat pada saat ini adalah masyarakat yang sudah modern, yang sudah mulai meninggalkan kekerasan sebagai penyelesaian masalah. Masyarakat yang sudah mulai berpikir intelek, mengikuti perkembangan jaman. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah menjadi pusat perhatiand, bahkan penggerak dari banyak kehidupan masyarakat saat ini.

Pada zaman dulu, uluh ngaju memiliki rasa solidaritas yang tinggi. Perduli terhadap keadaan orang lain di sekitarnya adalah mutlak. Salah satu bentuknya dalam berperang, ketika keluarga atau anggota kelompok/kampungnya mendapat serangan dari kelompok/kampung lain, maka semuanya akan angkat senjata. Ini berarti harga diri bersama telah diinjak-injak, sehingga menuntut suatu pembalasan atau penyelasaian. Dari sini bisa dilihat, walapun Cuma di dalam lingkup kelompok atau kampung, uluh Ngaju memiliki pemikiran bahwa perduli dengan orang lain ada penting.

Bagaimana dengan perang jaman sekarang? Apakah masih ada perang?

Jaman sekarang perang masih terjadi. Perang tersebut tidak lagi berbentuk seperti jaman dulu, melainkan mengikuti perkembangan jaman. Sekarang orang tidak lagi berperang karena kebersamaan, tetapi malah mengayau kulae. Duit sudah menjadi mandau, bahkan bisa saja lebih sakti, untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Orang sudah tidak perduli dengan keadaan orang lain. rasa individulitas lebih dominan daripada solidaritas. Orang rela menjatuhkan teman, bahkan keluarga, saudara sendiri, apalagi musuh, hanya untuk memenuhi rasa indivilitas opportunisnya.

Sekarang coba bandingkan antara perang jaman dulu dengan perang jaman sekarang. Yang perlu dilihat dalam perbandingan tersebut, bukan dari bentuknya saja, tetapi coba lihat lebih jauh, hakekat dari dua fenomena tersebut. Dua hal yang sangat berbeda jauh. Entah apakah ini kemunduran atau kemajuan, tetapi inilah fakta yang terjadi pada saat ini.

Lalu bagaimana dengan anda? Apakah anda orang yang perduli dengan kulae? Atau seperti uluh itah yang menjadi aktor-aktor perang masa kini?

Posisi dan Peranan Dewan Adat

Meskipun masyarakat dayak Ngaju di Kalimantan Tengah sudah mencapai keadaan yang cukup modern, tetapi masyarakat ini masih memiliki dewan ada. Tidak hanya sekedar memiliki bahkan dewan adat ini adalah organisasi yang sah secara hokum dan diatur dalam peraturan daerah yang dikeluarkan gubernur. Walaupun demikian masih terdapat pertanyaan-pertanyaan penting. Bagaimana posisi dewan adat tersebut dalam pemerintahan daerah? Lalu bagaimana pula posisinya di masyarakat?

Mungkin secara hukum dewan adat tentunya memiliki beberapa kewenangan yang penting. Lebih jauh, dewan adat memiliki pengaruh tertentu pada masyarakat. namun dalam kenyataannya, sejauh manakah dewan adat memberikan kemajuan dalam perkembangan masyarakat Kalteng, khususnya uluh itah? Tentunya apabila kita ubah cara pandang kita secara holistik, akan tampak suatu perbedaan yang sangat besar.

Dewan adat dayak dibentuk dengan tujuan besar yaitu untuk memberikan wadah bagi masyarakat dayak dalam mengangkat martabat mereka. Adanya organisasi tersebut, diharapkan bisa menjadi sarana untuk masyarakat local, tidak hanya dalam hal aspirasi, tetapi berbagai hal terkait adat dan lain sebagainya. Tentunya ini adalah suatu bentuk organisasi yang memiliki kuasa dan wilayah kekuasaan jelas, di Kalimantan Tengah.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana hubungan antara dewan adat ini sendiri dengan masyarakat dayak ngaju. Berdasarkan hal ini tentunya akan banyak sekali masalah menarik yang perlu diperhatikan. Layak menjadi perhatian, bahwa dewan ini layaknya suatu organisasi yang tidak produktif. Tidak produktif dimaksudkan bahwa, lembaga ini sendiri sangat kurang memberikan pengaruh pada masyarakat luas di Kalimantan Tengah.

Tidak perlu melihat hal-hal yang besar berdasarkan apa yang telah dikeluarkan pemerintah dalam bentuk Perda. Pertanyakan kepada masyarakat, apakah mereka tahu apabila masyarakat dayak, khususnya dayak ngaju memiiliki dewan adat? Tentunya apabila hal ini dilakukan akan muncul masalah yang menarik. Tentunya organisasi setingkat dewan ini memiliki pengakuan dari masyarakat, dan juga dikenal oleh masyarakat.

Ada beberapa fenomena menarik lainnya, khususnya bagi para mahasiswa yang mengenyam pendidikan tinggi di tanah perantauan, di jawa contohnya. Setelah beberapa kali berkunjung ke kota-kota besar di jawa, dimana terdapat mahasiswa-mahasiswa kalteng, ada beberapa hal yang ditemukan. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam masalah ini adalah, banyak mahasiswa yang tidak tahu akan adanya keberadaan dewan adat dayak di Kalimantan tengah. Mengapa demikian?

Akan menjadi suatu hal yang aneh, ketika muncul suatu lembaga yang diklaim ada untuk kepentingan orang banyak, tetapi organisasi itu sendiri tidak diketahui oleh masyarakat yang katanya diayomi. Secara hukum dewan adat dayak di Kalimantan Tengah ada dan sah, tetapi bagaimana di hati masyarakat? apakah mereka ada? Masalah ini muncul baru dari segi pengetahuan masyarakat akan keberadaan organisasi ini.

Lalu bagaimana dengan efek dan dampak yang diterima oleh masyarakat dari lembaga ini? Sampai sejauh mana lembaga ini mengatur keberadaan masyarakat dayak di Kalimantan Tengah? Apakah Cuma sebatas mengatur tentang “singer” atau berbagai aturan dalam kehidupan? Lalu sampai sejauh mana pelaksanaan dan dampaknya pada masyarakat? ataukah hanya menjadi tukang atur luas tanah adat? Apabila demikian adanya layaklah bahwa mereka tidak dikenal oleh masyarakatnya.

Suatu organisasi yang sejenis dewan adat bukanlah organisasi yang hanya mengatur suatu aturan-aturan mandul yang hanya sebagai formalitas. Bukan pula sebagai sarana untuk menghebatkan diri beberapa orang di dalamnya. Organisasi ini harusnya memiliki pengaruh yang kuat tidak hanya kepada pemerintah, tetapi khususnya bagi masyarakat. lalu bagaimana memiliki pengaruh apabila tidak dikenal orang? Tidak ada hak yang bisa diperjuangkan organisasi ini apabila keadaannya demikian. Lalu bagaimana mereka bisa mendamaikan “perang modern” saat ini? Apakah mereka hanya akan menjadi kendaraan politik bagi elit politik dalam melanggengkan kekuasaannya?

Pemerintahan Gombal dan Hati Mendua

Pada masa Pemilihan umum untuk pemilihan DPRD dan kepala daerah, banyak sekali berbagai hal yang terjadi. Tidak hanya muncul berbagai jargon politik, tetapi juga berbagai macam janji manis kepada masyarakat. selain itu muncul berbagai ideology-ideologi palsu terkait dengan semangat kedaerahan. Apakah semuanya itu bisa memberikan kemajuan? Mungkin ya dalam memanipulasi pikiran orang banyak.

Janji janji yang biasanya diungkapkan oleh para calon penguasa birokrasi selalu terkait dengan keadaan social ekonomi di masyarakat. kesejahteraan menjadi iming-iming yang sangat jitu diberikan kepada masyarakat. tidak hanya sampai disitu, berbagai pembangunan fisik dijanjikan untuk meningkatkangensi daerah, agar tidak tertinggal dari daerah lain. berbagai janji mulut manis yang sangat sulit untuk ditolak.

Kenyataan bahwa selama ini yang tampak hanya perkembangan ekonomi pada aras makro. Terdapat banyak kemajuan dalam pendapatan daerah dan investasi di Kalimantan Tengah. Bangunan dan berbagai infra struktur didirikan dan diadakan, sehingga tampak kian hari kemegahan fisik daerah semakin bertambah. Semua itu ditambah lagi dengan pendapatan perkapita masyarakat yang semakin naik tiap tahun.

Adakah yang bertanya, mengapa semua itu bisa mengalami perkembangan. Semua itu kebanyakan dibiayai dengan kesenjangan social yang meningkat. Perkembangan tersebut muncul karena adanya ketidakadilan social yang sangat memprihatinkan. Kemudian semua itu muncul karena adanya pembodohan tentang paradigma tentang pembangunan dan dongeng tentang daerah yang sejahtera. Lalu apakah semuanya itu bisa dikatakan sejahtera?

Memang bisa dikatakan ada kesejahteraan yang didapat, namun pertanyaanya siapa yang sejahtera? Kebanyakan adalah para penguasa, yang haus akan kekuasaan dan kekayaan serta kehormatan. Parahnya lagi, tidak sedikit para penguasa yang berasal dari kalangan birokrasi dan pejabat Negara yang turut andil di dalamnya. Lalu bagaimana bisa mensejahterakan masyarakat apabila menduakan hatinya antara kepentingan masyarakat dan kepentingan kesejahteraan pribadinya?

Mungkin hal ini adalah salah satunya faktor yang mebuat pekerjaan sebagai PNS menjadi saat bergengsi di mata masyarakat Kalimantan Tengah. Apabila keinginan akan pekerjaan ini didasari akan keinginan untuk melayani masyarakat tentunya akan memiliki hasil yang berbeda. Kenyataannya, hampir semua keinginan tersebut muncul karena keinginan untuk mencapai kemapanan diri sendiri. Dengan demikian akan snagat wajar apabila ternyata banyak penguasa birokrasi dan pejabat Negara yang berselingkuh dengan perusahaan-perusahaan dan berbagai penguasa lainnya ketimbang setia kepada masyarakat.

Mengorbankan Saudara Sendiri

Realitas yang patut disayangkan dalam fenomena dari keadaan yang telah dipaparkan sebelumnya adalah keberadaan masyarakat local, terutama dayak ngaju sendiri. Banyak orang-orang yang berasal dari masyarakat dayak ngaju yang memiliki jabatan penting dalam birokrasi, dan berbagai organisasi lainnya yang berpengaruh di Kalimantan tengah. Kebanyakan dari penguasa dalam pemerintahan adalah “uluh itah”. Lalu bagaimana mereka memposisikan diri mereka dalam perang modern saat ini?

Tidak sedikit dari mereka yang melakukan berbagai cara untuk mendapatkan kekuasaan. Cara tersebut tidak terkecuali dengan mengorbankan orang lain termasuk saudara sesukunya. Pengorbanan tersebut memang tidak lagi dilakukan dengan cara tradisional. Pada saat ini caranya sudah berubah dengan cara berdiri di atas penderitaan orang lain. tidak lagi menggunakan Kayau mengayau tetapi menginjak orang lain.

Memang selayaknya perlu berpikir untuk tidak menonjolkan rasa primordial. Tetapi yang perlu dicatat, para penguasa tersebut menggunakan lokalitas dan etnisitas untu mencapai tampuk kekuasaan. Berbagai janji dan ucapan manis yang keluar atas nama uluh itah, tetapi pada akhirnya uluh itah sendiri yang menjadi korban atas kepentingan pribadi mereka. Masyarakat dan saudara sendiri menjadi batu loncatan yang setelah terpakai dibuang begitu saja.

Fenomena yang sangat menarik akan didapat terutama ketika pemilliha umum. Banyak sekali calon penguasa yang memobilisasi massa dalam jumlah yang sangat besar. Kepada mereka diberikan suatu “kemurahan hati” yang untuk mengikuti kampanye dengan imbalan baju dan uang bensin. Kemudian para calon penguasa dengan entengnya berkata “sama arep kabuat” untu merayu para pemilih, yang entah secara sadar maupun tidak sadar nantinya akan ditinggal apabila kekuasaan sudah didapatkan.

Dalam skala yang lebih besar, banyak sekali hal yang lebih memprihatinkan. Pemerintah yang notabene dipegang oleh orang-orang local, mengumandangkan pembangunan yang berorientasi pada pembangunan ekonomi. Dengan cekatan mereka mengundang banyak penguasa nasional maupun internasional untuk berinvestasi di Kalimantan Tengah. Dampak yang dirasakan adalah pengerukan SDA yang hasilnya bahkan kurang dirasakan secara merata bagi masyarakat.

Orientasi pemerintah pun sekarang lebih kepada bagaimana meningkatkan ekonomi daerah. Berbagai perusahaan diberikan kemudahan dan kelancaran dalam mengeruk SDA, tetapi untuk pengembangan masyarakat saja amburadul, bahkan hampir tidak dirasakan. Lalu kesejahteraan seperti apa yang akan diraih masyarakat? apakah masyarakat Cuma jadi batu pijakan yang digunakan untuk menggapai rupiah demi rupiah yang digantung di atas kepala mereka demiki kepentingan pribadi?

Sementara itu dengan berbagai kesombongan banyak para penguasa melanggeng dalam pucuk jabatannya. Apakah ada anggota DPR yang duduk ngopi dan berbicara kepada masyarakat? apakah ada para pejabat guberbur atau bupati yang jalan kaki keluar rumah dan melihat realitas yang ada di sekitarnya? Mereka sudah terlalu enak di tengah kemegahan mereka, sementara saudara-saudaranya merasakan hidup yang sebaliknya karena ketidakadilan yang mereka ciptakan.

Lalu bagaimana falsafah rumah betang yang seringkali mereka gunakan sebagai salah satu amunisi andalan? Semua itu hanya akan menjadi suatu falsafah tanpa bisa diwujudkan. Kenangan yang tidak terlupakan tetapi hanya sebagai kenangan dan angan-angan masa depan. Sekarang uluh itah yang menjadi penguasa lebih senang melihat saudara-saudaranya sendiri menderita karena mereka gunakan sebagai korban untuk meraup kekayaan, kekuasaan dan kehormatan.

Pembangunan Ala Menara Gading : Fenomena Pembangunan Kalimantan Tengah (ditulis tanggal 28 November 2010)

pada masa sekarang banyak sekali fenomena yang bisa dilihat di masyarakat terkait dengan pembangunan. Di Indonesia sendiri terdapat berbagai bentuk dan ragam dalam pelaksanaan pembangunan terutama pembangunan daerah. Fenomena ini muncul terutama semenjak di laksanakannya otonomi daerah, dimana tiap provinsi memiliki kewenangan yang besar dalam melaksanakan pembangunan di daerah masing-masing.

Semenjak berjalannya otonomi daerah di Indonesia ada beberapa aspek yang menonjol. Aspek tersebut adalah aspek pembangunan fisik dan ekonomi. Kedua aspek baik secara sadar maupun tidak sadar dilaksanakan oleh hampir seluruh pemerintahan daerah di Indonesia. Tidak hanya sampai disitu, kedua aspek ini seolah-olah menjadi suatu indicator penting dan seakan mengalahkan faktor lain di dalam pembangunan. Ekonomi yang maju dan bangunan fisik yang sangat berkembang dinilai sebagai suatu kemajuan bagi masyarakat.

Proses pembangunan yang digambarkan di atas juga tampak berlaku bagi pembangunan yang di laksanakan di Kalimantan Tengah. Seringkali yang tampak dari pembangunan adalah ukuran fisik dari bangunan serta sarana dan prasana yang didirikan. Hal ini tentunya tidak bertentangan dengan apa yang disebut dengan pembangunan, mengingat bahwa pembangunan sendiri memiliki artian yang sangat luas. Luasnya artian dari pembangunan ini sendiri pada akhirnya membuat banyak pilihan bagi pelaksana pembangunan untuk mengambil focus dalam pembangunan itu sendiri.

Luasnya artian dari pembangunan sendiri tidak berarti bahwa pelaksana pembangunan sendiri dapat dengan bebas memilih focus dari pembangunan sekehendak hati. Focus dari pembangunan sendiri tentunya harus mempertimbangkan keseluruhan aspek yang ada di masyarakat, sehingga dapat tercapai pembangunan yang tepat sasaran. Dalam hal ini pemerintah Kalteng sebagai pelaksana pembangunan seharusnya dapat melihat berbaga pertimbangan penting dalam menentukan focus pembangunan, dengan catatan pembangunan tersebut memang bertujuan untuk kemajuan dalam masyarakat secara merata.

Kalteng sendiri adalah daerah yang memiliki sumber daya alam yang begitu besar dan begitu terkenal tidak hanya ditingkat nasional, tetapi juga internasional. Tidak hanya hutan dan luas wilayah yang besar dan luas, tetapi juga memiliki potensi lain seperti kandungan barang tambangnya yang besar. Sumber daya alam ini tentunya merupakan suatu aset yang bisa dijadikan modal untuk pembangunan, terutama untuk kesejahteraan masyarakat. Suatu aset yang begitu berharga tidak hanya bagi daerah tetapi juga bagi Negara Indonesia.

Kenyataan yang terjadi saat ini di Kalteng malah mengganjal. Sumber daya alam yang besar ternyata tidak menunjang Kalteng menjadi daerah yang bias mensejahterkan masyarakatnya. Hal ini tidak perlu ditinjau dari data statistic yang diolah BPS dan berbagai LSM yang ada. Kenyataan itu bisa ditemukan secara nyata di lapangan secara menyeluruh di Kalteng, tidak hanya pada daerah perkotaan tetapi juga di daerah pedesaan. Apakah yang menyebabkannya?

Paradigma Pembangunan : Mimpi Indah Yang Palsu

Hal yang sering terdengar dalam berbagai kampanye politik di Kateng adalah bagaimana memajukan daerah melalui pembangunan. Seruan itu sering pula terdengar dalam berbagai pidato atau dialog para pejabat-pejabat. Keadaan yang demikian menjadi seruan yang sangat biasa didengar masyarakat sehingga menjadi paradigma berpikir dari masyarakat Kalteng kebanyakan. Lebih dari itu, seruan itu juga tampak menjadi suatu janji manis kepada masyarakat.

Secara detail, ada berbagai janji yang diberikan kepada masyarakat. Janji tersebut terutama adalah janji kesejahteraan yang mengarah kepada pembangunan fisik yang seakan menjadi jalan keluar masyarakat dari keterpurukan kemiskinan. Memang janji tersebut banyak yang tidak berakhir sebagai janji belaka. Ada banyak janji yang dilaksanakan semisalnya pembangunan jalan, sarana kantor daerah dan lain sebagainya.

Tetapi yang menjadi masalah apakah itu semua adalah jalan keluar yang tepat? Berdasarkan realitas yang ada kita bisa melihat realitas yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya. Realitas ini adalah suatu bukti dari keberadaan pelaksanaan pembangunan di Kalteng yang sedang masalah besar. Realitas tersebut adalah masalah paradigma pembangunan, yang mempengaruhi pelaksanaan dari pembangunan itu sendiri.

Paradigma pembangunan yang berkembang di Kalteng sendiri adalah paradigma yang mengarah bahwa yang terpenting adalah masalah fisik dan ekonomi. Hal ini tidak dipungkiri lagi terutama melihat perkembangan dari perniagaan, investasi dan perkembangan fisik, terutama di daerah perkotaan. Pertanyaan, lalu bagaimana dengan aspek lainnya yang ada di masyarakat? Apakah pembangunan pada aspek fisik dan ekonomi bisa menjadi solusi pembangunan Kalteng?

Banyak aspek yang cukup terabaikan dalam pembangunan di Kalteng, mulai dari pendidikan, social, kesehatan, dan masih banyak lagi. Semua itu memang pernah masuk dalam janji manis para penguasa, tetapi pada kenyataannya tidak pernah pula menjadi perhatian utama. Sungguh hal yang patut disayangkan, karena hal tersebut merupakan hal yang sangat penting dalam membangunmasyarakat, terutama membangun SDM yang berkualitas.

Pusat dari perhatian pembangunan di Kalimantan Tengah sendiri secara terstruktur mengarah menuju pembangunan fisik dan ekonomi. Paradigma pembangunan ekonominya sendiri adalah pertumbuhan ekonomi. Pembangunan yang demikian sebenarnya tidak bermasalah terutama pada masyarakat yang mapan dan siap terhadap pengaruh ekstenal. Semua ini terkait keberadaan berbagai kekayaan dan kebudayaan dari internal masyarakat itu sendiri yang dapat berguna untuk kemajuan masyarakat.

Sekali lagi, semua itu ditujukan untuk masyarakat yang sudah cukup mapan. Selain itu juga masyarakat tersebut mengerti dari apa yang dimaksud dengan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi (yang pastinya melibatkan globalisasi di dalamnya). Tetapi apakah bisa dibayangkan apabila pembangunan tersebut digunakan pada masyarakat yang belum mapan? Tentunya bisa menjadi suatu bencana yang sangat besar , khususnya bagui masyarakat itu sendiri.

Reallitas masyarakat yang belum mapan untuk pembangunan dan pertumbuhan ekonomi sangat kental bisa dirasakan di Kalteng. Tetapi kenyataannya, pemerintah sendiri berusaha menggunakan model pembangunan tersebut. Tentunya fenomena yang muncul dan mudah sekali ditemukan di lapangan adalah berbagai masalah di hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Kalteng. Masalah tersebut tidak hanya berkutat pada masalah ekonomi, tetapi juga sosial, politik, budaya dan lain sebagainnya.

Tentunya sangat penting memikirkan suatu model pembangunan yang tepat bagi masyarakat. Tetapi model tersebut tentu dipilih dengan pertimbangan yang sangat matang dan hati-hati. Jangan Cuma karena adanya janji-janji penguasa ketika berusaha mendapatkan kekuasaan, semua itu berusaha diwujudkan dengan sembrono. Kembali diwacanakan bahwa semua itu demi kesejahteraan masyarakat. Tetapi kesejahteraan yang seperti apa? Dan perlu bertanya kembali, kesejahteraan untuk siapa?

Semua janji dan pandangan tentang pembangunan oleh para penguasa tersebut bukanlah hal yang enteng. Semua itu pada akhirnya terinternalisasi dalam paradigma masyarakat. Paradigma itu sendiri pada kenyataannya Cuma menjadi suatu janji manis yag menjanjikan mimpi yang indah, tapi pada akhirnya hanya berupa janji kosong, mimpi yang dibentuk di masyarakat, tetapi menjadi mimpi palsu.

Pembangunan Ala Menara Gading

Berdasarkan pada teori, banyak sekali model pembangunan yang dapat dipakai dalam pembangunan masyarakat dan negara. Tidak hanya terbatas dari luar negeri, tetapi juga sudah mulai muncul model pembangunan yang datang dari dalam negeri. Penggunaan dari mdoel pembangunan itu sendiri tergantung dari keadaan dan situasi dari masyarakat atau negara itu sendiri.

Walaupun terdapat begitu banyak model pembangunan yang berkembang, tetapi semua itu tetap berdasarkan pada satu esensi yang sama. Semua model tersebut ada untuk dipergunakan mencapai kesejahteraan bagi masyarakat. Semua itu tidak bisa dipungkiri, karena pembangunan itu ada untuk masyarakat. Lebih dari itu, pembangunan tidak hanya ditujukan untuk menguntungkan beberapa pihak saja, tetapi keseluruhan masyarakat.

Pembangunan itu sendiri tidak selalu identik dengan keadaan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tidak pula diikuti dengan pembangunan fisik yang megah dan berdirinya berbagai bangunan besar dan bertingkat. Indikator pembangunan tersebut pada akhirnya hanya akan menutup realitas dari keberadaan masyarakat yang sebenarnya. Keberadaan yang sebenarnya lebih penting daripada sebongkah ”batu besar ”yang bertebaran di kota atau selembar ”kertas biru”.

Lalu bagaimana kenyataan dari pembangunan di Kalteng? Yang lebih terlihat adalah pembangunan fisik dimana-mana. Selain itu perputaran uang dan ekonomi makro lebih diperhatikan sehingga menambah besar keterpinggiran dari kesejahteraan masyarakat pada kelas menengah kebawah. Lalu apakah tersebut patut dikatakan sebagai suatu kesejahteraan? Ataukah berusaha membangun kesombongan di atas kesengsaraan?

Semua itu memang nampak sekali pada kehidupan masyarakat. Tetapi siapakah yang merencanakan dan melaksanakan pembangunan tersebut? Jelaslah pemerintah. Lalu apakah artinya pembangunan yang direncanakan dan di laksanakan pemerintah saat ini? Siapakah yang menjadi korban dari semua itu? Tentulah masyarakat.

Pembangunan saat ini hanya dipenuhi dengan berbagai proyek. Yang lebih miris, banyak sekali proyek yang dilaksanakan, tetapi hampir tidak ada yang dapat mencerdaskan seorangpun. Lalui bagaimana dengan SDM di Kalteng sendiri terutama dari masyarakat lokal? Apakah masyarakat layak menjadi korban dari berbagai proyek pembangunan ”menara Gading”?

Tentunya tidak ada satupun yang berharap sesuatu yang buruk. Tetapi ada baiknya beranjak dari suatu harapan dan mimpi dan melihat kenyataan yang ada. Masyarakat sendiri memiliki berbagai persoalan yang harusnya diperhatikan oleh pemerintah, dan bukan untuk ditindas (baik secara sadar maupun tidak sadar). Pemerintah haruslah memperhatikan keberadaan dan memihak masyarakat, jang bersombong ria dan mengambil keuntungan di atasnya.

Solusi Kesejahteraan Dalam Pembangunan Masyarakat Kalteng? (ditulis tanggal 22 november 2010)

Suatu hari ketika kembali di tanah kelahiran Borneo, yang terasa adalah rasa bahagia. Sangat wajar karena kesempatan untuk pulang hanyalah satu tahun sekali. Ketika memasuki pulau borneo tercinta langsung tercium bau kayu-kayuan dan alam yang sangat segar dan membuat diriku serasa pulang kembali ke rumah. Langkah menuju rumahpun ku ayunkan dengan penuh semangat.

Pemandangan alam pun tidak luput dari pandanganku selam perjalanan. Sepanjang jalan, hutan yang masih hijau dan alami sangat nyaman dipandang mata. Alangkah bangganya aku akan tanah kelahiranku. Walaupun demikian aku sering bertanya dalam diri sendiri, sampai kapan semua ini bisa kunikmati? Maklum disaat ini sangat gencar diadakan pembangunan fisik dimana-mana.

Ketika memasuki suatu kawasan mataku menjadi terpaku pada suatu pemandangan yang baru untukku. Tampak sebuah perkebunan dengan komiditas tanaman yang terhampar luas. Tamana sawit yang tertata rapi dan dalam keadaan yang subur tumbuh menjulang, di kedua sisi jalan, seakan menjadi panitia penyambutanku di tanah kelahiran. Aku lebih terdiam lagi ketika melihat betapa luasnya perkebunan sawit tersebut. Ketika melewati sebuat bukit, tampak bahwa perkebunan tersebut seolah tidak berujung, menyelimuti seluruh tanah di daerah tersebut.

Sekitar 5 menit kemudian mobil yang aku tumpangi keluar dari kawasan perkebunan tersebut. Suasana kembali ke hutan yang hijau. Di pinggir jalan sesekali tampak penduduk lokal berjalan kaki. Ada seorang perempuan tua dengan pakaian yang cukup lusuh, membawa lontong (tas dari rotan) yang berisikan rebung. Di belakang perempuan itu seorang anak kecil membawa kayu bakar yang jumlahnya tidak banyak. Keduanya berjalan tanpa menggunakan alas kaki.

Tidak lama kemudian tampak rumah-rumah yang terdapat di kiri dan kanan jalan. Ukuran rumah-rumah itu tidaklah besar. Semuanya terbuat dari kayu dan beberapa di antaranya tamapak dari kayu yang sudah tua, lapuk dan memprihatinkan. Di beberapa rumah terlihat beberapa orang anak bermain di halaman dengan mainan yang terbuat dari kayu dan dahan pisang.

Beberapa jam kemudian aku sampai di palangkaraya, kota kelahiran tercinta. Mulai dari pinggiran kota mulai tampak bangunan dan ruko-ruko yang terbuat dari semen. Bangunan tersebut makin banyak dan tampak dimana-mana ketika masuk ke dalam pusat kota. Terlihat pula banyak anak muda yang lalu lalang dengan kendaraan bermotor, mulai dari pelajar sampai anak muda yang berpasangan, menaiki kuda besi yang tampak banyak sekali di kota.

Sampai dirumah, tentunya sangat menyenangkan, bertemu dengan sanak keluarga. Melepaskan kerinduan dengan orang tua, keluarga, dan teman-teman karena dalam waktu yang lumayan lama tidak dijumpai. Walaupun begitu, teap saja ada sesuatu yang mengganjal. Pemandangan yang kulihat selama di perjalanan selalu mengganggu. Untuk mengurangi ganjalan tersebut, aku mulai membaca berbagai literatur dan bacaan tentang sawit dan pembangunan di kalteng, dari buku maupun internet. Keadaan itu seringkali terulang, sambil bertanya-tanya, ada apakah dengan kalteng, bumi tambun bungai tercinta.

Bukan Berbicara Teoritis : Melihat kemampuan Mulut

Masalah perkebunan sawit banyak diperbincangkan, bahkan diperdebatkan. Tidak hanya oleh kalangan akademisi yang berada di kampus, tetapi juga bahkan oleh para pejabat bahkan rakyat kecil. Banyak sekali orang yang meninjau dari berbagai aspek. Lebih dari itu banyak sekali teori yang digunakan untuk melihat keberadaan sawit, baik yang arahnya pro maupun kontra.

Tinjauan teori tersebut tidak hanya dari ilmu ekonomi, tetapi juga dari ilmu hukum, sosial kritis, sosiologi, psikologi, dll. Semuanya itu seringkali dipakai untuk memperkuat argumen masing-masing tentang masalah perkebunan sawit, khususnya di Kalimantan Tengah. Tidak cukup teori, seringkali juga berbagai contoh masalah di tempat lain pun di paparkan pula.

Tidak masalah ketika berbicara tentang teori. Tidak menjadi suatu hal yang salah ketika berbicara secara ilmiah. Tetapi semua itu akan menjadi masalah ketika semua itu tidak memberikan dampak pada kehidupan yang nyata di masyarakat. Seringkali teori hanya menjadi teori. Tidak kalah juga, teori itu punya kesenjangan dengan praktek, dengan kenyataan. Lalu apa gunanya teori apabila Cuma berakhir di mulut saja?

Banyak sekali orang yang berkoar-koar tentang teori yang tinggi sekali. Saking tingginya teori itu, tampak jauh mengawang-awang hingga hampir tidak mungkin mencapai kenyataan. Tidak sedikit anak muda, kaum terpelajar, aktivis, yang mengagung-agungkan teori. Lalu apabila kenyataannya teori itu Cuma menjadi pemanis mulut di depan orang lain, apa gunanya teori itu buat masyarakat?

Selama ini sudah banyak orang yang terlalu berteori, tetapi hanya berakhir di mulut, yang akhirnya tersangkut di gigi dan kemudian ditelan kembali. Apakah semua itu bisa menyelesaikan masalah yang ada di Bumi Kalteng? Sangatlah wajar ketika dikatakan bahwa masyarakat di Kalteng terbelakang oleh daerah lain apabila kenyataan yang ada demikian adanya. Ada mungkin hal yang tidak terbelakang, tetapi cuma kemampuan berbicara saja yang lestari, bukan yang lainnya.

Ketika terjadi berbagai masalah seringkali hanya diselesaikan hanya dengan hal-hal yang berujung tidak membawa pengaruh apa-apa. Apa pengaruhnya mahasiswa di palangkaraya yang berbicara tentang teori Marxis yang kemudian berdemo mengkritik pemerintah? Lalu apa gunanya seminar dan penyuluhan tentang berbagai hal yang diadakan tetapi hanya sekedar acara untuk rutinitas atau hebat-hebatan?

Semuanya itu hanya kemampuan mulut. Kemampuan yang membangkitkan semangat, tetapi semangat yang semu. Semangat yang tidak ada jiwa, yang dalam waktu relatif singkat padam layaknya api yang disiram sedikit demi sedikit. Kemampuan mulut itu sendiri malah menjadi suatu keuntungan para birokrat rakus untu melanggengkan kekuasaan, tanpa menggunakan kemampuan mulut yang teoritis. Mungkin perlu jargon ”bangunlah Mulut yang Cakap Untuk Membangun daerahmu”, baru Kalteng bisa maju dalam dunia ”adu mulut”.

Teori Berbanding Terbalik Dengan Kenyataan

Seringkali di ungkapkan ”Mari membangun perekonomian di Kalimantan Tengah” di berbagai tempat, berbagai acara, momen, dan setiap ada kesempatan, yang dilakukan oleh petinggi-petinggi. Orang yang mendengarkannya pun Cuma mangangguk-angguk dan yang mengucapkannya dengan bangga membusungkan dada layaknya orang yang mengerti apa yang dia ucapkan. Apakah dia bisa jawab ketika ditanya ”apa itu pertumbuhan ekonomi?”.

Setiap tahunnya gubernurpun menyatakan bahwa peningkatan ekonomi daerah kita semakin menunjukan hasil yang positif. Di katakan bahwa daerah kita semakin maju, kesejahteraan penduduknya terus meningkat. Semua itu dikatakan dengan muka bangga. Tetapi apakah kita punya kesempatan bertanya secara langsung di depan khalayak ”kesejahteraan masyarakat yang mana?”

Secara teori mungkin Kalimantan Tengah memang menuju suatu perubahan yang positif. Pertanyaannya ”apakah kenyataan berbicara demikian?” apakah sudah ada kajian tentang kemajuan ekonomi dengan melihat kenyataan yang ada di masyarakat. Lebih lanjut, apakah kemajuan ekonomi pasti disertai dengan kesejahteraan yang meningkat di masyarakat?

Saya sendiri menjadi bertanya-tanya, apa yang dimaksud dengan kesejahteraan oleh para birokrat dan para staff ahli ekonominya yang merancangkan ”master plan” Kalteng, bumi kelahiranku. Kesejahteraan itu ditandai dengan banyaknya mobil dan kendaraan mewah, sementara dipinggir jalan banyak pengemis yang meminta-minta dengan pakain lusuh dan keadaan yang memprihatinkan? Ataukah rumah pejabat yang besar dan mewah dengan fasilitas yang lengkap, sedangkan di sampingnya ada rumah yang terbuat dari kayu dan hampir rubuh?

Fenomena yang tampak adalah suatu kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Bukannya ingin menjadi seorang yang sosialis, tetapi apakah pantas yang disebut dengan kesejahteraan itu berarti yang kaya berada di atas yang miskin? Apabila memang demikian, betapa hinanya kesejahteraan itu sendiri. Sungguh tidak pantas ada terutama di tanah kelahiranku yang konon katanya memiliki masyarakat yang perduli satu sama lain. Lebih baik tidak ada kata kesejahteraan.

Kembali dalam fokus awal pembicaraan. Apabila tadi adalah gambaran mengenai kawasan perkotaan, lalu bagaimana dengan keadaan di perkebunan sawit? Apakah terdapat kesejahteraan di sana? Apakah keadaan masyarakat di sana lebih baik dengan adanya perkebunan tersebut?

Luas perkebunan Sawit di Kalimantan Tengah seluas kurang lebih 3 juta ha. Semua itu tersebar di berbagai daerah di Kalteng. Pembukaan lahannya pun melalui persetujuan dari pemerintah. Lalu bagaimana prosesnya? Apakah ada masalah?

Pembukaan lahan untuk perkebunan sawit sendiri banyak membuat masalah. Isu yang menjadi sentral adalah keterpinggiran masyarakat lokal, dan juga tanah adat. Cukup dengan melihat hal ini apakah demikian yang namanya kesejahteraan? Masyarakat loka hidup dari alam sekelilingnya. Apabila semua itu diambil, bagaimana mereka menjalani hidup mereka?

Masalah seperti ini sudah terjadi bertahun-tahun, tetapi dari pemerintah sendiri tampak kurang perduli. Sering kali kemampuan mulutlah yang mereka gunakan untuk meredakan masalah. Tapi apakah masalah selesai hanya dengan tindakan seperti itu? Banyak sekali masyarakat yang tidak mengecap hasil dari pengerukan SDA tersebut, padahal semua itu dilakukan di tanahnya sendiri. Mereka bagai dijajah dirumah oleh orang asing, yang dibantu oleh saudaranya sendiri. Suatu pengkhianatan yang benar-benar melukai hati.

Fenomena yang muncul di masyarakat hanya kesengsaraan, suatu kemajuan tetapi wujud aslinya adalah kemunduran. Yang terjadi hanyalah keterpinggiran, marjinalisasi, ketidakadilan, perampasan, perampokan, pemerkosaan alam, dan masih banyak lagi. Lalu apa tindakan pemerintah? Cuma diam dan ketika sudah muncul konflik mengeluarkan kemampuan mulutnya?

Lalu bagaimana dengan teori-teori tentang pembangunan dan ekonomi yang digunakan pemerintah untuk ”mensejahterakan” rakyat? Apakah itu berhasil? Ataukah Cuma memberikan kesengsaraan. Lalu apakah perkataan-perkataan tentang kesejahteraan yang diucapkan oleh para birokrat dan akademisinya yang berdasarkan pada teori itu benar? Apakah semua itu untuk menghapus semua kenyataan yang ada. Jelas teori yang mereka katakan malah berbanding terbalik dengan kenyataan di masyarakat.

Apa Yang Menjadi Fokus Pembangunan?

Melihat berbagai fenomena dan realitas yang ada di Kalimantan Tengah, perlu ditinjau lagi apa yang menjadi fokus pembangunan Kalteng. Fokus yang sering ungkapkan adalah pembangunan ekonomi. Semua itu terlihat dari perniagaan dan investasi yang berkembang di Kalteng. Kembali lagi semua itu dilakukan dengan iming-iming kesejahteraan di masyarakat.

Semua itu rasanya harapan yang menjadi suatu keraguan, atau mungkin saja kekecewaan. Jelas saja, bagaimana mungkin membangun kesejahteraan masyarakat dengan ekonomi, sementara kesenjangan antara yang kaya dan miskin malah semakin besar. Lalu siapa yang sejahtera? Lebih jauh, mengapa terjadi ketidakadilan distribusi sumber ekonomi? Lalu bagaimana masyarakat sejahtera dengan keadaan demikian?

Sebagai contoh, sekarang yang menjadi lahan empuk dalam bidang ekonomi di Kalimantan Tengah adalah perkebunan sawit. Banyak sekali investor asing yang tergiur dengan potensi tersebut. Tentunya pemerintah akan memberikan kesempatan kepada investor yang akan memberikan keuntungan paling besar. Layaknya seorang pelacur yang menawarkan dirinya kepada pelanggan yang memberikan bayaran paling besar untuk bercinta.

Keadaan yang menjijikan demikian tidak pantas menjadi fokus dalam pembangunan. Tidak hanya sampai disitu, pertanyaannya ”apakah ekonomi sebagai fokus pembangunan, akan memberikan solusi dalam pembangunan Kalteng?” apakah kalteng hanya akan menghasilkan banyak orang kaya, tetapi bodoh dan menjadi pesuruh bagi orang asing, menjadi budak di tanah sendiri?

Kenyataan demikian seharusnya mendorong semua pihak, khususnya pemerintah untuk mengkaji dan memperbaiki rencana pembangunan yang ada. Apabila hal demikian diteruskan, bisa saja layaknya orang buta yang berjalan maju terus, tetapi tidak sadar ternyata berjalan ke jurang yang dalam dan penuh dengan batuan tajam. Yang ada hanyalah kehancuran. Pertanyaannya, apakah kesejahteraaan sama dengan kehancuran?

Mungkin keadaan seperti ini bisa menjelaskan mengapa Kalteng saat ini memiliki pembangunan fisik dan ekonomi yang kuat, tetapi seperti bekerja sambil kehilangan pikiran. Kesadaran yang rendah dan kemampuan mulut yang makin meningkat. Hanya tampilan fisik yang muncul tetapi kemampuan sama dengan nol, sehingga semakin tertinggal dengan daerah lain. Pembangunan macam apa yang dijalankan apabila hasilnya demikian? Apakah pembangunan, membangun apa saja asalkan menghasilkan uang?

Rumah Betang Yang Lapuk

Seringkali pula dalam suatu kampanye atau panggung politik, jargon rumah betang disebutkan. Sering pula rumah betang diidentikan dengan kebersamaan. Membangun kesejahteraan bersama di dalam persaudaraan. Tetapi apakah semua itu dimengerti oleh orang yang mengucapkannya? Semua diucapkan hanya untuk memunculkan semangat lokalitas, yang Cuma membuat gendut para birokrat, yang seringkali memakan saudara sendiri.

Lalu apabila demikian, dimana letak kebersamaannya? Apakah kebersamaan untuk saling memakan sesama? Kebanyakan orang yang memegang peranan penting di masyarkat adalah orang lokal. Kenyataannya ketika masyarakat lokal berbenturan dan bermasalah dengan perusahaan sawit dan berbagai masalah lainnya, mereka seringkali malah membela perusahaan dan pemerintah, bukan saudara mereka sendiri.

Dulu semangat rumah betang dimaknai tidak hanya dalam ucapan, tetapi juga dengan tindakan sehari-hari yang nyata. Sekarang filosofi itu dipakai untuk merayu sesama dan saudara sendiri agar mau dimakan, demi mengenyangkan ego masing-masing. Semua iitu tidak hanya terjadi di dunia politik, tetapi juga bahkan hampir di semua aspek dalam masyarakat.

Layaknya sebuah rumah besar dan terkenal yang sudah lapuk. Penghuninya mulai meninggalkannya, tetapi tetap menggunakan nama dan ketenaran rumah itu demi kepentingan pribadi. Orang di dalam rumah itu sendiri sudah tidak akur. Ada yang saling menjatuhkan, memfitnah, bahkan memakan saudara sendiri. Rumah betang yang nyaris rubuh. Itulah relitas dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Tengah.

Ujian Skripsi Berbasis “Koreksi” di FISKOM (ditulis tanggal 23 september 2010

Pada suatu siang saya menonton ujian skripsi yang diselenggarakan di FISKOM, fakultas saya. Pada awalnya saya merasa malas untuk menonton ujian tersebut, namun tiba-tiba niat tersebut berubah. Saya pun akhirnya memutuskan kembali ke fakultas ketika saya pada awalnya berniat pergi menikmati secangkir kopi di cafe. Ketika saya masuk ke ruang ujian, tampak bahwa peserta ujian (yang pada saat itu teman saya sendiri) sedang mempresentasikan skripsinya. Di ruangan itu tampak ada beberapa dosen yang duduk di bangku barisan paling depan, dan juga teman-teman angkatan 2006 yang duduk di kursi barisan belakang. Saya pun akhirnya memutuskan untuk ikut duduk di belakang.

Setelah sekitar 15 menit saya mengikuti ujian tersebut, akhirnya presentasi selesai dan mulai memasuki “sesi tanya jawab” antara peserta dan penguji. Berdasarkan pengamatan saya, memang ada beberapa hal yang memang kurang dari skripsi tersebut, baik dari segi substansi, maupun dari segi penulisan, sehingga secara otomatis memunculkan berbagai pertanyaan. Tapi apa daya, penonton tidak mempunyai hak untuk bertanya, jadi akhirnya saya cuma diam saja.

Ketika memasuki “sesi tanya jawab”, seorang dosen dipersilahkan untuk berkomentar terkait skripsi yang diujikan. Dosen itu berbicara banyak, mulai dari redaksional sampai sistematika penulisan skripsi dan ilmiah. Peserta ujian pun seringkali hanya mengangguk-angguk dan hanya menjawab atau berkomentar seperlunya dari pernyataan atau pertanyaan dosen penguji. Dalam sesi ini kurang tampak adanya bantahan,atau sanggahan dari peserta ujian.

Merasa ujian skripsi tersebut kurang menarik, saya keluar dari ruang ujian walaupun ujian belum selesai. Untuk saya, ujian tersebut kurang menarik karena hanya menjadi ajang koreksi oleh para penguji. Dari pihak pesertapun hanya “manut” saja dengan berbagai koreksi yang dilakukan oleh para penguji, sehingga dialektika substansi keilmuan dari skripsi tesebut kurang tampak.

Setelah mengikuti dan mengamati sekian banyak ujian skripsi di FISKOM, saya sampai kepada beberapa hal yang saya rasa perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di FISKOM terutama pada saat ujian skripsi :

Adanya relasi kuasa yang timpang. Dari fenomena yang saya amati, peserta ujian skripsi kebanyakan hanya mengikuti dan berterima dengan sanggahan, kritikan dan saran dari penguji tanpa adanya dialektika yang mengarah kepada pengujian dalil-dalil, maupun hubungan antar dalil.
Seringkali kritikan dan komentar lebih berfokus pada kulit luar skripsi seperti redaksional dan tata cara penulisan, sedangkan pada tataran substansi dan masalah yang diteliti dalam skripsi tersebut kurang dibahas. Hal ini tentunya tampak aneh ketika presentasi yang dilakukan pada ujian skripsi, seringkali menimbulkan masalah, terutama dari dalil-dalil yang dibangun.
Presentasi yang dilakukan tampak tidak jauh berbeda dengan presentasi yang dilakukan dalam ruang kelas kuliah, padahal dalam konteks masalah ini, yang diujikan adalah skripsi yang merupakan hasil penelitian

Tiga hal di atas adalah apa yang selalu saya dapati dan pikirkan ketika menonton ujian skripsi di FISKOM, entah diluar itu ada berapa hal lagi yang perlu diperhatikan. Berangkat dari tiga hal di atas, ada beberapa pertanyaan yang juga terlintas dalam benak saya :

Mengapa fenomena “relasi kuasa” yang timpang seperti cerita di atas terjadi?
Dengan melihat skripsi dan ujian skripsi yang demikian, apakah FISKOM sudah mencapai profil lulusan yang diinginkan FISKOM sendiri?
Pengajaran dan pengembangan ilmu seperti apakah dilaksanakan oleh FISKOM?

Munculnya pertanyaan tersebut dan melihat fenomena membuat saya akan merasa sangat wajar ketika akreditas yang akan diterima fakultas dan progdi-progdinya adalah “B” atau bahkan “c”. Mengapa? Kita sendiri bisa menilai, apakah sebenarnya fenomena ujian skripsi yang saya gambarkan di atas sebenarnya dapat menunjang (salah satu bentuk) pengembangan akademik. Tentunya saya rasa tidak, melihat relasi kuasa yang terjadi.

Lalu apa sebenarnya yang salah di dalam “tubuh FISKOM”? apakah ada kesahalan pada tenaga pengajar? Atau kesalahan pada mahasiswa? ataukah kesalahan pada sistem.kiranya mungkin bisa terjawab ketika kita menjawab pertanyaan “bagaimana pelaksanaan akademik di FISKOM?”, yang menjadi pertanyaan besar saya, selain tiga pertanyaan sebelumnya.

Jiwa Lembaga Kemahasiswaan (ditulis tanggal 13 Juni 2010)

Berawal dari awal januari 2010, saya berkenalan dengan seseorang yang juga berasal dari kota yang sama dengan saya. Dia dulu waktu mahasiswa dan aktivis yang sangat disegani waktu kuliah di tanah Jawa. Mengetahui hal tersebut, saya sering bercerita mengenai organisasi kampus, terutama LK. Sering pula saya meminta nasehat pada beliau dalam berorganisasi dab dia selalu rela meluangkan waktunya dengan senang hati, walaupun Cuma lewat sms.

Sampai kepada awal maret, dia berkata “berdasarkan cerita kamu, LK adalah organisasi yang maju di kalangan mahasiswa di Indonesia dalam bentuk organisasi. Tapi LK kalian sedang menghadapi masalah yang besar dan rumit”. Saya terkejut mendengar hal tersebut, karena menurut saya tidak ada masalah yang serius, karena kebanyakan masalah hanya dalam ranah teknis atau mekanisme organisasi.

Saya bertanya kepada dia kiranya masalah besar apakah yang LK hadapi. Teman tersebut malah balik bertanya, “sebelum kamu masuk LK, apakah yang kamu cari tahu tentang LK? Apa tujuan kamu masuk LK?” dengan mudah saya menjawab” tujuan saya masuk LK adalah belajar berorganisasi, jadi yang pertama kali saya cari ketika masuk LK adalah fungsi dan peran LK sendiri”. Teman tersebut mengatakan bahwa saya tahu apa tujuan saya masuk organisasi, tetapi dia bertanya “apakah kamu tahu tujuan dari organisasi yang kamu masuki? Apakah kamu tahu dasar dari organisasi yang kamu masuki? Saya terdiam, tidak bisa menjawab.

Saya terdiam, untuk waktu beberapa hari saya tidak pernah berhubungan lagi dengan teman tersebut. Saya berusaha mencari jawaban dari dua pertanyaan terakhir yang dia ajukan. Saya berusaha dengan membaca, berbagai tulisan mengenai LK, berdiskusi dan berusaha memahami keberadaan LK di UKSW. Selama berhari-hari saya hanya berusaha untuk hal tersebut.

Ketika saya sudah mendapatkan titik terang dari jawaban tersebut, saya bertanya kembali kepadan teman saya “seberapa penting saya tahu tujuan dan dasar organisasi? padahal hal tersebut sangat abstrak dan bisa saja sukar dipahami” diam menjawab “sangat penting! Dasar dan tujuan tersebut adalah arah dan pedoman organisasi untuk bergerak. Dasar dan tujuan tersebut tidak hanya dilakukan tetapi harus dikhayati organisasi, dan juga orang-orang di dalamnya”.

Saya tertegun. Selama ini saya Cuma tau fungsi dan peranan. Empat tahun ber-LK saya tidak mengerti bahkan paham dasar dan tujuan dari UKSW, yang merupakan dasar dan tujuan dari LK pula sebagai bagian dari UKSW. Empat tahun hanya berkutat pada masalah teknis dan mekanisme, tanpa mengerti hendak ke mana LK sebenarnya harus berjalan. Hal ini membuat saya merasa harus memahami kembali, apa yang menjadi dasar dan tujuan UKSW.

Saya sedikit demi sedikit memahami, walau Cuma dengan kemampuan saya yang terbatas, saya tetap berusaha. Semakin saya mencoba memahami dasar dan tujuan UKSW, makin banyak pertanyaan yang muncul terutama dengan melihat keadaan UKSW sekarang, khususnya LK. Apakah UKSW, khususnya LK saat ini sudah sesuai dengan dasar dan tujuannya?

Banyak program yang direncanakan, baik LK maupun di tingkat universitas. banyak kegiatan dan mimpi yang diungkapkan para pimpinan universitas, yang bahkan bisa membuat kita tercengang-cengang kagum mendengarnya. Hal luarbiasa yang bisa melambungkan, mengangkat nama UKSW. Rencana-rencana yang membuat UKSW bisa dikenal dimana-mana.

Memang semua itu adalah hal-hal yang baik, dan demi nama UKSW. Tetapi apakah semuanya sudah memperhatikan dasar dan tujuan UKSW? Lalu bagaimana dengan keadaan sekarang, apakah sudah sesuai dengan dasar dan tujuannya? Lebih lanjut, apakah fungsionaris-fungsionaris LK sudah memperhatikan dasar dan tujuan tersebut dalam menjalankan LK sebagai suatu pedoman nilai?

Memang bukanlah hal yang tidak diperkenankan merencanakan atau memikirkan rencana-rencana tentang LK, bahkan UKSW untuk dikenal orang banyak. Tetapi jangalah sampai melupakan dasar dan tujuan yang telah ditetapkan. Bisa dibayangkan apabila dasar dan tujuan tersebut dilupakan, terutama oleh orang-orang di dalam UKSW, khususnya LK, semuanya berjalan bagaikan manusia tanpa jiwa. Bisakah kita semua melihat betapa mengerikannya apabila UKSW berjalan tidak sesuai dengan apa yang sebagaiman mestinya?

Saya pernah bertanya kepada beberapa orang fungsionaris LK. “apa yang pertama kamu lakukan ketika kamu hendak/sebelum masuk LK? Banyak sekali jawaban yang saya dapat. Jawaban tersebut mulai dari berapa poin yang didapat, mencari tahu tugas dan peranan, keuntungan masuk LK, berapa banyak cewek atau cowok cantik yang ikut LK dan masih banyak lagi. Kesemuanya itu saya akhiri dnegan pertanyaan “pernahkah terpikir, untuk mencari tahu dan memahami dasar dan tujuan UKSW, sebagai tujuan dan dasar juga bagi LK yang merupakan salah satu bagian UKSW?”.

Mungkin sudah banyak yang melupakan nilai dan dan dasar UKSW. Banyak pula yang mungkin mengerti dan memahaminya, tetapi tidak mau tau, tidak mengkhayati, bahkan tidak perduli dengan nilai tersebut, baik sadar maupun tidak sadar. Ada istilah “kacang lupa kulitnya”. Janganlah kita semua menjadi seperti pepatah tersebut. LK harus kembali menjadi “LK yang sesungguhnya” dan berjalan sesuai dengan dasar dan tujuannya. Semua itu bukanlah mimpi belaka. Semua itu bisa diwujudkan, apabila seluruh sivitas akademika UKSW sadar, memahami, dan mengkhayati dasar dan tujuan universitas sendiri. Tentunya hal ini bukanlah hanya dilakukan secara individu tetapi secara kolektif.

LK sendiri jadilah “terang dan garam” yang dimulai di dalam UKSW. LK jadilah bagian yang sadar akan keberadaan, walaupun di tengah berbagai situasi, politik dan pertentangan di dalam kampus. Selaku seorang akademisi, dan orang yang mempunyai arah dan tujuan harus “berdiri teguh” ditengah berbagai cobaan dan tantangan saat ini. Tapi semua harus kembali lagi dijalankan bersama, bukan hanya secara individu saja, untuk mengembalikan “jiwa UKSW”.

“Alienasi” Lembaga Kemahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana (ditulis tanggal 12 Juni 2010)

Universitas Kristen Satya Wacana sebagai salah satu universitas Kristen di Indonesia. Dengan membawa Ideologi Kristen yang tidak menekankan ekslusivitas, UKSW diharapkan dapat menjadi terang dan garam dunia. Keinginan tersebut memunculkan tujuan-tujuan UKSW yang diantaranya ikut berperan dalam perkembangan masyarakat, peradaban dunia pada umumnya, dan bangsa negara pada khususnya. UKSW menjadikan dirinya sebagai tempat mencetak pemimpin-pemimpin Kristen yang dapat berkontribusi tidak hanya pada bangsa dan negara, tetapi juga pada dunia, khususnya kepada ALLAH.

Bagaimana mewujudkan tujuan tersebut? Salah satu alat pencapainya adalah Lembaga Kemahasiswaan (LK). LK hadir menjadi suatu wadah untuk mecetak pemimpin-pemimpin yang sesuai dengan profil lulusan UKSW. Pemimpin yang diharapkan tidak hanya pemimpin biasa yang sama dengan pemimpin yang pada umumnya ada. Pemimpin yang diharapkan adalah pemimpin peka dan kritis, yang dengan dibekali nilai-nilai kristiani.

Di perjalanannya sendiri, LK tentunya memiliki dasar yang sama dengan UKSW (juga pada mahasiswa secara keseluruhan). Hal ini menjadi konsekuensi yang mutlak sebagai salah satu bagian dari UKSW. Kenyataan ini berimplikasi bahwa dalam pergerakannya LK harus sejalan dengan UKSW secara mendasar, tidak hanya secara lembaga, tetapi juga individu-individu di dalamnya. Dengan demikian terlihatlah bagaimana gambaran LK secara mendasar dan bagaimana nilai-nilai di dalamnya terbentuk.

Keberadaan Lembaga Kemahasiswaan

LK adalah bagian dari UKSW secara keseluruhan. LK hadir sebagai salah satu usaha untuk meujudkan tujuan dari UKSW. Dengan demikian terlihat betapa pentingnya kehadiran, peranan, fungsi dan tugas dari LK dalam eksistensi UKSW. Salah satu tujuan dari kehadiran LK yang juga merupakan tujuan dari UKSW adalah memenciptakan pemimpin-pemimpin yang dibekali nilai-nilai kristiani. Para pemimpin ini nantinya diharapkan dapat berkontribusi dalam kemajuan masyarakat, bangsa dan negara, bahkan dunia.

Dalam proses perjalanannya, LK memiliki hubungan yang sangat erat dengan universitas. Hubungan ini salah satunya dalam hal aturan main. Tetapi hal ini tidak menutup kenyataan bahwa LK sendiri dibentuk dengan kebebasan untuk menentukan aturan main sendiri di dalam internal LK. Aturan main ini bukan berarti kebebasan yang sepenuhnya, karena LK juga harus mempertimbangkan situasi, keadaan, harus peka, terutama juga harus mempertimbangkan dasar dari LK sendiri.

Mengapa dasar LK menjadi sesuatu yang penting dalam penjalanan LK dahulu, sekarang, maupun kedepannya? Yang pertama, sudah dipaparkan sebelumnya LK adalah bagian dari UKSW sebagai usaha pelayanan Gereja di tengah-tengah dunia. Yang kedua, dengan menjadi bagian dari UKSW, tentunya dasar dari UKSW menjadi dasar LK pula. Yang ketiga, dasar tersebut, menjadi arah dan pedoman bagi LK untuk berjalan, arah dari LK, dan harusnya menjadi suatu penghayatan bagi LK dan orang-orang di dalamnya.

Keberadaan LK ini sendiri tentunya tidak terlepas dari “magistrum et scholarium”, dimana harusnya terdapat kesetaraan. Hal ini terwujud salah satunya, dalam statuta yang mengatur bahwa wakil dari mahasiswa diakui sebagai senator (baik di aras fakultas maupun universitas). LK juga punya otonomi dalam menentukan kebijakannya dengan melihat keberadaan dan situasi mahasiswa, memperjuangkan hak dan keberadaan mahasiswa. Perjuangan ini tentunya tidak diartikan secara sempit dalam rangka advokasi, tetapi juga dalam rangka menyalurkan dan mewujudkan aspirasi mahasiswa (tanpa meninggalkan dasar LK sendiri), bahkan sampai pada bagaimana hubungan antara LK dengan unit-unit lain di UKSW.

Alienasi LK

Dengan sedikit uraian di atas, jelas bahwa LK memiliki otonomi sendiri dalam kebijakan dalam rangka menjalankan tugas dan peranannya. dalam otonomi ini tentunya intervensi dari pihak manapun tentunya tidak dibenarkan. Hal tersebut dapat menjadi penghalang bagi proses berjalannya LK di “rel” yang telah ada.

Dalam internal LK sendiri dalam sejarah perjalanannya, seringkali mendapat berbagai usah intervensi. Usaha ini datang seringkali bukan dari luar, tetapi dari dalam UKSW sendiri. Seringkali pemahaman yang kurang atau keliru mengenai dasar dari LK dan UKSW menjadi suatu masalah yang besar. Bisa saja secara disengaja atau tidak disengaja, keadaan ini bisa menjadi suatu alat untuk membuat rapuh pondasi dari UKSW, khususnya LK. Tentunya untuk menganalisa hal ini harus melihat keadaan dan situasi saat ini.

Meminjam istilah yang di gunakan oleh Karl Marx, melihat fenomena saat ini mahasiswa seakan-akan “teralienasi” dari kesadarannya saat ini. Yang dimaksud dari aliensi menurut Marx adalah suatu keadaan dimana kesadaran manusia menjadi terasing dari “hakekatnya” sebagai manusia yang kreatif di dalam produksi materi. Keterasingan ini dibuat oleh kaum kapitalis, dalam rangka atau usah untuk memperoleh nilai lebih sebanyak mungkin, sehingga bisa lebih memperbesar modal.

Dari pemahaman konsep di atas, mari kita coba analisis keadaan mahasiswa, khususnya fungsionaris LK. Proses perjalanan dan pergerakan LK, khususnya pada tataran idnividu di dalamnya, bagaikan suatu raga tanpa jiwa. Fungsionaris menjadi cukup handal dalam berbagai hal teknis. Kemampuan ini tidak diimbangi dengan pemahaman tentang dasar dan tujuan dari LK. Fungsionaris LK layaknya buruh dalam bayangan Marx, hanya sebagai robot yang berbergerak tanpa arah tujuan yang pasti, tidak sesuai dengan “hakekat LK” pada awalnya.

Keadaan ini adalah suatu masalah besar. Bisa saja keadaan ini dimanfaatkan seseorang atau kelompok tertentu untuk kepentingan pribadi, ego pribadi. Apakah selama ini ada yang sadar bahwa dalam keadaan ini, LK seringkali mendapat intervensi dari oknum tertentu di dalam universitas? Mengapa bisa demikian. Roh LK sendiri telah hilang. LK mungkin atau bisa saja menjadi kendaraan politik ala kampus. Daya tawar dari LK sendiri menjadi rendah dan hanya mengangguk kepala ketika ada keputusan atau kebijakan yang muncul, yang jangankan di luar kampus, di dalam kampus pun demikian.

Yang diperlukan pada saat ini adalah penyadaran akan “hakekat LK” kembali. Harus ada suatu gerakan yang menembus batas dari “alienasi”,”keterasingan” yang selama ini terjadi. Hal ini merupaka suatu hal yang berat, tetapi apabila ini dilakukan secara keseluruhan di LK bukanlah suatu hal yang mustahil. LK harus bebas dari intervensi, bebas dari keterasingan, sehingga dapat kembali kepada fungsi dan perannya yang semula. LK harus kembali pada “rel”nya tanpa ditumpangi penumpang gelap yang hanya mencari keuntungan.

Hello world!

Welcome to WordPress.com! This is your very first post. Click the Edit link to modify or delete it, or start a new post. If you like, use this post to tell readers why you started this blog and what you plan to do with it.

Happy blogging!