Pengetahuan Rasional dan Pengetahuan Irasional Dalam Menjawab Apa Itu Makna Hidup : Refleksi Dalam Konteks Kekristenan (ditulis tanggal 13 Februari 2011)

Sekilas muncul pertanyaan yang menggelitik hati dan pikiranku. Pertanyaan itu muncul dari kegiatan yang baru saja aku buat dan ikuti. Sore itu aku membuat sebuah diskusi “diskusi GMKI cabang Salatiga, 14 Februari 2011. Materi diskusi itu dibawakan oleh Fredy, Ketua Cabang (Kecab) GMKI cabang salatiga, mengangkat tentang sebuah buku yang ditulis oleh Leo Tolstoy berjudul “A Confession” yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Tanpa memakan waktu akhirnya diskusi dimulai. Secara perlahan tapi pasti dijelaskan bahwa Tolstoy adalah seorang sastrawan, filsuf, seorang anarkis Kristen, dan seorang yang menginspirasi banyak tokoh perjuangan tanpa kekerasan seperti Mahadma Gandi, Marthin Luther King Junior dan banyak orang Kristen di wilayah Eropa. Tolstoy lahir pada tahun 1822 di Yasnaya Polyana, Rusia, dan berasal dari keluarga yang kaya. Memang orang tuanya meninggal pada saat dia masih kecil dan membuat dia harus tinggal dengan Paman dan Bibinya bersama dengan enam saudara kandungnya. Semasa hidupnya dia sudah banyak menghasilkan tulisan dan novel yang sangat terkenal seperti “Anna Karenina”, “War and Peace” , tulisannya mengenai pandangannya terhadap Kristen yang berjudul “The Kingdom Of God Within You” dan masih banyak lagi tulisan lain. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Tolstoy adalah salah satu penulis yang luar biasa dari yang pernah ada.

Dalam “A Confession” diceritakan mengenai pergulatan iman Tolstoy selama hidup. Selama hidup dia sudah melakukan banyak hal, dari hal baik, sampai pada hal yang paling tidak baik. Dia sudah berbuat untuk menolong orang lain, namun juga sudah melakukan perbuatan yang tidak baik dan banyak merugikan bahkan menyakiti orang lain. Pada umur 15 belas tahun dia sudah mempertanyakan, meragukan berbaga doktrin dan ajaran gereja ortodok., hingga pada tahun berikutnya dia betul-betul meninggalkan semua yang berkaitan dengan gereja dan ajarannya. Dia sudah banyak melakukan banyak sekali kejahatan, mulai dari judi, mabuk-mabukan, memeras, merampok ,menindas rakyat kecil, berzinah, membunuh, hingga kejahatan yang sudah sangat sulit dihitung jumlahnya. Namun yang sangat membuat dia sendiri heran, segala perbuatannya itu dianggap bermoral dan dipuji oleh orang sekelas dan sekelilingnya.

Hingga pada suatu saat di masa mudanya dia ikut dalam kemiliteran dan pergi berperang. Pada masa itu kembali banyak sekali kejahatan dan kekejian yang dilakukannya. Kembali dia mendapatkan pujian atas perbuatannya itu. Semua itu terus berlanjut hingga ia keluar dari peperangan dan militer pada umur 27 tahun. Di kemudian masuk ke dalam dunia tulis menulis dan sastra, dimana ia sangat diterima dan dipuji karena kemampuan dan karyanya dalam tulis menulis dan sastra. Masih dalam keheranannya yang sduah lama dialami, dia merasa nyaman dan senang karena diterima di kalangan dan pergauklan barunya. Semua itu tidak bertahan lama. Beberap tahun berjalan, di a kembali merasakana da sesuatu yang salah.

Tolstoy berpikir pada awalnya orang-orang di kalangannya adalah orang yang paling bermoral dan bijak. Orang-orang di kalangannya adalah orang yang mengajar dan menjadi sumber pengetahuan bagi orang lain. Kalangannya adalah mesin penggerak bagi perkembangan kebudayaan, sehingga merasa menjadi sebagai organ terpenting dalam masyarakat. Namun dengan segera dia bisa melihat kenyataan bahwa di dalam kalangannya sendiri dia melihat terjadinya berbagai tindakan amoral, bahkan melebihi yang pernah dia lihat dan lakukan sebelumnya. Sesama orang yang mengajar dan menulis, ternyata saling menjatuhkan. Satu sama yang lain tidak pernah bissa akur dan selalu mencari cara menjatuhkan yang lain. Dan yang lebih membuat Tolstoy tersentak bahwa ternyata orang-orang dari kalangannya mengajar tanpa mereka paham, apa sebenarnya yang mereka ajarkan. Mengapa bias hal itu terjadi?

Semua itu berpangkal pada pertanyaan sederhan yang muncul dalam diri Tolstoy “apa makna hidupku?”. Pertanyaan yang sederhana tetapi tidak dapat lepas dari pikirannya dan seringkali merongrong dirinya. Hal ini jugalah yang membuat dia merasa bahwa berada di kalangannya pada saat itu tidak memberikan jawaban, bahkan membuat dia hidup dalam kemunafikan. Dia terus menjalani kehidupan bersama kalangannya, menulis dan mengajar, tapi dia tidak memahami apa yang dia ajarkan, apalagi mengetahui dan memahami makna hidup. Semua keadaan itu membuat dia merasa hidup dalam sautu kemunafikan, yang sekalipun coba dia ingkari, tetap saja tidak bisa hilang dari dalam dirinya.

Sampai pada suatu saat dia menemukan beberapa pemikiran yang menarik perhatian dan berharap mendapatkan jawaban darinya. Pemikiran itu berasal dari Salomo, Kant, dan Schopenhauer, tetapi yang lebih menonjol dan berpengaruh adalah dari Salomo dan Schopenhauer. Salomo mengatakan bahwa hidup itu adalah kesia-siaan, lebih mengarah pada nihilsme, tampak pada kita pengkhotbah (kalo tidak salah). Dan kemudian terdapat juga pengaruh pemikiran Schopenhauer, dimana dikatakan bahwa hidup adalah kemalangan terbesar. Mengapa demikian?

Kedua berpikiran itu berpangkal pada hal yang hampir sama, bahwa manusia dilahirkan, tumbuh besar dewasa, tua dan menghadapi kematian. Kematian sendiri adalah mutlak dan tidak terelakan bagi setiap manusia. Dalam hidupnya sendiri manusia selalu mencari kebijaksanaan, kearifan, kesenangan, dan kebahagiaan. Tetapi apakah maknanya semua itu apabila manusia harus mati dan semua yang didapat pada akhirnya hanya hilang begitu saja. Memang semua berlanjut. Manusia mempunya keturunan dan hidup tetap berlanjut. Tapi manusia tetap tidak merubah bahwa manusia dan keturunannya pasti akan menghadapi kematian dan semua yang didapatkan akan hilang karena tidak dapat di bawa dalam kematian. Lalu apa makna semua itu? Lalu apabila kenyataannya demikian, apa makna hidup ini? Jawaban yang didapat adalah “tidak ada”.

Mendapatkan jawaban demikian membuat Tolstoy mendapati dirinya dalam keputusasaan. Dirinya seringkali mencoba untuk bunuh diri. Walaupun demikian tetap ada sesuatu dalam dirinya yang membuat dirinya tidak bunuh diri ketika keinginan itu muncul. Setiap hari Tolstoy harus menyembunyikan senapan atau tali, atau segala benda yang bias digunakan untuk membunuh dirinya. Setiap hari dirinya makin dirongrong rasa keputusasaan karena merasa hidup ini adalah kesia-siaan. Tidaka da satupun dalam hidupnya yang bias mengalihkan keputusasaannya itu, pekerjaan, harta, pujian, keluarga, bahkan anak-anaknya sendiri. Dia sendiri mencintai istri dan anak-anaknya, tetapi dia merasa semua itu sia-sia, karena ketika kematian datang semua itu akan lenyap.

Meski diikuti oleh rasa keputusasaan, Tolstoy masih berusaha untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang selalu muncul dalam pikirannya, mengenai apa makna dari hidup. Dia kemudian memutuskan untuk mencari jawaban dari para ilmuwan, dari ilmu ekperimental dan ilmu abstrak. Demi mendapatkan jawaban makna hidupnya, dia mulai mempelajari segala sesuatu yang dapat dia pelajari. Mulai dari kimia, matematika, sosiologi, psikologi, dan bahkan sampai filsafat. Namun semua itu tidak memberikan jawaban, malah meneguhkannya dalam keputusasaan. Semua ilmu yang ada menjawab berbagai hal dalam hidup, dan bahkan tetap sekali dalam menjawab berbagai pertanyaan dalam bidangnya. Usahantya ini bahkan samapi membuat dia menciptakan sitematika dalam menjawab pertanyaannya. Namun bagi Tolsoty semua jawaban ilmu itu tidak bisa menjawab tentang makna kehidupan, malah pertanyaan lain yang muncul dan jawaban yuang didapat tidak relevan untuk pertanyaan Tolstoy.

Keadaan yang demikian semakin membuat dirinya merasa bahwa bunuh diri adalah jalan yang paling tepat. Dia mengetahui bahwa hidup itu adalah sia-sia dan jalan keluarnya adalah kematian. Walaupun demikian tetap saja dia berusaha untuk mencari jawaban dari pertanyaaanya. Kali ini dia berusaha mendapatkan jawaban dengan mempelajari semua orang yang ada disekitarnya. Dia mulai mempelajari orang-orang yang sekelas dengan dia (orang-orang kaya). Yang dia temukan hanyalah suatu kemunafikan dan dia tidak menemukan jawaban dari situ. Tetapi kemudian dia tertarik pada masyarakat pekerja (kelas bawah).

Bagi Tolstoy terdapat perbedaan yang sangat menonjol antara masyarakat kelas atas dan kelas pekerja. Pada masyarakat kelas atas, terdapat berbagai kemunafikan dan usaha untuk melupakan bahwa hidup ini sia-sia. Tetapi pada masyarakat kelas pekerja sangat berbeda. Mereka tahu bahwa mereka akan menghadapi kematian. Lebih dari itu mereka tahu bahwa hidup ini sia-sia. Tetapi mereka masih hidup dan menjalani hidup mereka dengan baik. Satu hal yang menjadi dasar bagi mereka hingga bias menjalani hidup dan membuatnya bermakna, yaitu iman. Iman kepada Tuhan, itulah yang membuat mereka terus hidup dan memberi makna pada hidup mereka.

(selanjutnya silahkan membaca sendiri “A Confession”)

***********

Kembali dalam diskusi GMKI, Kecab melntarkan pertanyaan dengan sedikit pemaparan “

“dalam menjawab pertanyaan Tolstoy, pada akhirnya kembali pada pengetahuan yang irasonal. Hal ini terjadi karena pengetahuan yang rasional ternyata tidak dapat meberikan jawaban dari pertanyaan yang muncul, sedangkan manusia pada akhirnya harus menghadapi kematian. Mengapa demikian?”(saya lupa tepatnya, tetapi berintikan seperti yang sudah ditulis).

Pertanyaan inilah yang sangat menggelitik dan membuat saya kembali berpikir beberapa hal.

Tidak bisa diingkari bahwa ketika manusia hidup, mulai dari lahir, remaja, dewasa, tua, harus menghadapi kematian. Segala sesuatu yang didapat di dalam dunia ini memang tidak dapat dibawa dalam kematian. Dan seperti yang dipikirkan oleh Schopenhauer, Salomo, dan Tolstoy, semua yang didapat hidup ini akan menjadi hilang ketika berada dalam kematian.

Kembali dalam pertanyaan fredy, lalu bagiamana pengetahuan irasional bias memberikan jawaban mengenai makna hidup padahal manusia pasti menghadapi kematian?

Seperti yang telas dituliskan di atas bahwa hidup adalah sia-sia, karena di dalamnya ada kematian. Seringkali banyak orang yang merasa bahwa hidupnya menjadi tidak berguna karena mengetahui bahwa hidup adalah kesia-siaan. Banyak orang yang menemukan kenyataan ini, melalui berbagai bentuk dan wujud. Tetapi semuanya tetap mengarahkan manusia pada satu hal, bahwa hidup itu sia-sia.

Namun pada akhirnya dengan pengetahuan irasional manusia bias menemukan jawaban atas pertanyaan mengenai makna hidup. Manusia dapat menemukan makna hidupnya dengan mendasarkan diri pada keyakinan atau kepercayaan terhadap apa yang disebut dengan “Iman”. Dengan memiliki keimanan terhadap yang transenden, maka manusia akan dpat memberikan makna dan menjalanin hidupnya dengan baik. Memang hal ini adalah hal yang sederhana, tetapi merupakan hal yang sederhana, tetapi sangat sulit dijalankan dan seringkali dilupakan. Mengapa demikian?

Hidup manusia ini hidup tidak hanya dalam keyakinan dan kepercayaan akan iman. Di dalam hidup manusia juga terdapat berbagai hal, seperti realitas, perasaan, akal budi, dan yang paling nyata adalah ilmu pengetahuan rasional. Berdasarkan kenyataan bahwa ilmu-ilmu rasional tidak hanya berguna dalam mempermudah kehidupan manusia, tetapi juga dapat membuat manusia mengingkari pengetahuan yang irasional. Kedua pengetahuan itu seringkali hadir dan berbenturan, hampir tidak bisa bersatu bahkan kadangkala saling menjauh.

Kembali lagi bahwa pengetahuan yang rasional tidak dapat menjawab persoalan mengenai makna hidup. Pengetahuan itu menjawab berbagai fenomena dan realitas manusia dan alam. Namun tidak bisa menjawab makna dari kehidupan, apalagi kembali lagi bahwa hidup ini akan menjadi kesia-sian dan semuanya hilang ketika kematian datang. Dalam hal ini pengetahuan menawarkan jawaban yang sangat mungkin bisa menjawab pertanyaan mengenai makna kehidupan.

Dalam konteks kekristenan. Kitab suci atau Alkitab tidak pernah menyangsikan atau mengingkari bahwa manusia ini hidup, lahir, remaja, dewasa, tua dan mati. Kekristenan juga tidak mengingkari bahwa ketika manusia menghadapi kematian, segala sesuatu yang didapatkan selama hidup tidak iktu terbawa dalam kematian. Alkitab mengisahkan itu semua, dan bias dilihat sepanjang tertulis dari awal Kitab kejadian sampai pada Kitab Wahyu. Tetapi itu semua belum cukup. Ada hal lain lagi yang ditawarkan pengetahuan irasional, terutama dalam konteks kekristenan.

Yang pertama, Tuhan telah menjanjikan keberadaan sorga setelah kematian dimana terdapat hidup kekal. Dalam hal ini masuk ke dalam sorga akhirnya menjadi suatu tujuan pemberhentian terakhir manusia setelah melewati kematian. Sorga dijanjikan kepada orang yang setia kepadanya dan taat di jalannya. Hal ini kemudian memberikan implikasi dalam hidup manusia. Bagi manusia yang ingin masuk dalam kerajaan sorga harus mengakui keberadaan Allah sebagai pencipta, Tuhan Yesus dan roh kudus, tidak hanya menjelang kematian, tetapi bahkan dalam seluruh hidupnya. Dengan demikian akhirnya suatu harapan tentang sorga mengisi hidup manusia dan memberi makna di dalamnya.

Yang kedua, perlu kesadaran dan tindakan berdasarkan kasih. Mengapa demikian? Dengan kasih kita bias menyadari keberadaan orang lain bagi kita sangat penting, tidak hanya secara rasional bahwa manusia adalah makhluk social, tetapi juga secara iman bahwa kita perlu mengasihi sesame kita tanpa memandang latar belakang atau situasi. Yesus emngajarkan hukum kasih, yang pada nyata dapat member makna pada hidup manusia (mendasarkan pada kosep Allah pencipta dan sorga). Hal ini pula yang mendorong Tolstoy pada akhirnya mengarakan pemikirannya pada perjuangan tanpa kekerasan.

Yang ketiga, kita tidak perlu mempertanyakan mengenai hidup dan keberadaan yang transenden apalagi dengan cara dan metode pengetahuan rasional. Yang perlu dilakukan adlah keyakinan dan kepercayaan kepada-Nya. Dengan demikian manusia dapat melihat makna hidupnya, bahwa yang dituju dan dipercaya bukanlah dalam dunia ini, tetapi setelah kita menjadi tidak ada, melewati kematian. Yang perlu dilakukan dalam hidup adalah percaya dan berbuat sesuai kehendak-Nya, sehingga baik setelah kematian ataupun semasa hidup, terdapat makna yang berarti bagi manusia.

Tinggalkan komentar

Tinggalkan komentar