ANTARA PERANG JAMAN DULU DAN JAMAN SEKARANG : SALAH SATU PERUBAHAN DI DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT SUKU DAYAK NGAJU (ditulis tanggal 5 Desember 2010)

Pada jaman dahulu, suku dayak, salah satunya Ngaju sering kali berperang. Perang tersebut terjadi antara dua kelompok atau dua kampung ataupun antar rumah betang. Seringkali di dalamnya terjadi kayau mengayau hingga salah satu pihak menang atau terjadi suatu pemecahan konflik melalui cara damai. Fenomena perang tersebut terjadi terus menerus hingga pada tahun 1894 diadakan pertemuan seluruh suku Dayak di Tumbang anoi, yang hasilnya kemudian dikenal sebagai Perjanjian Tumbang Anoi. Salah satu isi dari perjanjian tersebut adalah menghapus kebiasaan mengayau (selain dipakai dalam perang, juga dipakai untuk upacara adat tertentu).

Sekarang kita coba lihat sekarang, apakah masih ada perang di antara sesama Suku Dayak Ngaju? Yang kita lihat pada saat ini adalah masyarakat yang sudah modern, yang sudah mulai meninggalkan kekerasan sebagai penyelesaian masalah. Masyarakat yang sudah mulai berpikir intelek, mengikuti perkembangan jaman. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah menjadi pusat perhatiand, bahkan penggerak dari banyak kehidupan masyarakat saat ini.

Pada zaman dulu, uluh ngaju memiliki rasa solidaritas yang tinggi. Perduli terhadap keadaan orang lain di sekitarnya adalah mutlak. Salah satu bentuknya dalam berperang, ketika keluarga atau anggota kelompok/kampungnya mendapat serangan dari kelompok/kampung lain, maka semuanya akan angkat senjata. Ini berarti harga diri bersama telah diinjak-injak, sehingga menuntut suatu pembalasan atau penyelasaian. Dari sini bisa dilihat, walapun Cuma di dalam lingkup kelompok atau kampung, uluh Ngaju memiliki pemikiran bahwa perduli dengan orang lain ada penting.

Bagaimana dengan perang jaman sekarang? Apakah masih ada perang?

Jaman sekarang perang masih terjadi. Perang tersebut tidak lagi berbentuk seperti jaman dulu, melainkan mengikuti perkembangan jaman. Sekarang orang tidak lagi berperang karena kebersamaan, tetapi malah mengayau kulae. Duit sudah menjadi mandau, bahkan bisa saja lebih sakti, untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Orang sudah tidak perduli dengan keadaan orang lain. rasa individulitas lebih dominan daripada solidaritas. Orang rela menjatuhkan teman, bahkan keluarga, saudara sendiri, apalagi musuh, hanya untuk memenuhi rasa indivilitas opportunisnya.

Sekarang coba bandingkan antara perang jaman dulu dengan perang jaman sekarang. Yang perlu dilihat dalam perbandingan tersebut, bukan dari bentuknya saja, tetapi coba lihat lebih jauh, hakekat dari dua fenomena tersebut. Dua hal yang sangat berbeda jauh. Entah apakah ini kemunduran atau kemajuan, tetapi inilah fakta yang terjadi pada saat ini.

Lalu bagaimana dengan anda? Apakah anda orang yang perduli dengan kulae? Atau seperti uluh itah yang menjadi aktor-aktor perang masa kini?

Posisi dan Peranan Dewan Adat

Meskipun masyarakat dayak Ngaju di Kalimantan Tengah sudah mencapai keadaan yang cukup modern, tetapi masyarakat ini masih memiliki dewan ada. Tidak hanya sekedar memiliki bahkan dewan adat ini adalah organisasi yang sah secara hokum dan diatur dalam peraturan daerah yang dikeluarkan gubernur. Walaupun demikian masih terdapat pertanyaan-pertanyaan penting. Bagaimana posisi dewan adat tersebut dalam pemerintahan daerah? Lalu bagaimana pula posisinya di masyarakat?

Mungkin secara hukum dewan adat tentunya memiliki beberapa kewenangan yang penting. Lebih jauh, dewan adat memiliki pengaruh tertentu pada masyarakat. namun dalam kenyataannya, sejauh manakah dewan adat memberikan kemajuan dalam perkembangan masyarakat Kalteng, khususnya uluh itah? Tentunya apabila kita ubah cara pandang kita secara holistik, akan tampak suatu perbedaan yang sangat besar.

Dewan adat dayak dibentuk dengan tujuan besar yaitu untuk memberikan wadah bagi masyarakat dayak dalam mengangkat martabat mereka. Adanya organisasi tersebut, diharapkan bisa menjadi sarana untuk masyarakat local, tidak hanya dalam hal aspirasi, tetapi berbagai hal terkait adat dan lain sebagainya. Tentunya ini adalah suatu bentuk organisasi yang memiliki kuasa dan wilayah kekuasaan jelas, di Kalimantan Tengah.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana hubungan antara dewan adat ini sendiri dengan masyarakat dayak ngaju. Berdasarkan hal ini tentunya akan banyak sekali masalah menarik yang perlu diperhatikan. Layak menjadi perhatian, bahwa dewan ini layaknya suatu organisasi yang tidak produktif. Tidak produktif dimaksudkan bahwa, lembaga ini sendiri sangat kurang memberikan pengaruh pada masyarakat luas di Kalimantan Tengah.

Tidak perlu melihat hal-hal yang besar berdasarkan apa yang telah dikeluarkan pemerintah dalam bentuk Perda. Pertanyakan kepada masyarakat, apakah mereka tahu apabila masyarakat dayak, khususnya dayak ngaju memiiliki dewan adat? Tentunya apabila hal ini dilakukan akan muncul masalah yang menarik. Tentunya organisasi setingkat dewan ini memiliki pengakuan dari masyarakat, dan juga dikenal oleh masyarakat.

Ada beberapa fenomena menarik lainnya, khususnya bagi para mahasiswa yang mengenyam pendidikan tinggi di tanah perantauan, di jawa contohnya. Setelah beberapa kali berkunjung ke kota-kota besar di jawa, dimana terdapat mahasiswa-mahasiswa kalteng, ada beberapa hal yang ditemukan. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam masalah ini adalah, banyak mahasiswa yang tidak tahu akan adanya keberadaan dewan adat dayak di Kalimantan tengah. Mengapa demikian?

Akan menjadi suatu hal yang aneh, ketika muncul suatu lembaga yang diklaim ada untuk kepentingan orang banyak, tetapi organisasi itu sendiri tidak diketahui oleh masyarakat yang katanya diayomi. Secara hukum dewan adat dayak di Kalimantan Tengah ada dan sah, tetapi bagaimana di hati masyarakat? apakah mereka ada? Masalah ini muncul baru dari segi pengetahuan masyarakat akan keberadaan organisasi ini.

Lalu bagaimana dengan efek dan dampak yang diterima oleh masyarakat dari lembaga ini? Sampai sejauh mana lembaga ini mengatur keberadaan masyarakat dayak di Kalimantan Tengah? Apakah Cuma sebatas mengatur tentang “singer” atau berbagai aturan dalam kehidupan? Lalu sampai sejauh mana pelaksanaan dan dampaknya pada masyarakat? ataukah hanya menjadi tukang atur luas tanah adat? Apabila demikian adanya layaklah bahwa mereka tidak dikenal oleh masyarakatnya.

Suatu organisasi yang sejenis dewan adat bukanlah organisasi yang hanya mengatur suatu aturan-aturan mandul yang hanya sebagai formalitas. Bukan pula sebagai sarana untuk menghebatkan diri beberapa orang di dalamnya. Organisasi ini harusnya memiliki pengaruh yang kuat tidak hanya kepada pemerintah, tetapi khususnya bagi masyarakat. lalu bagaimana memiliki pengaruh apabila tidak dikenal orang? Tidak ada hak yang bisa diperjuangkan organisasi ini apabila keadaannya demikian. Lalu bagaimana mereka bisa mendamaikan “perang modern” saat ini? Apakah mereka hanya akan menjadi kendaraan politik bagi elit politik dalam melanggengkan kekuasaannya?

Pemerintahan Gombal dan Hati Mendua

Pada masa Pemilihan umum untuk pemilihan DPRD dan kepala daerah, banyak sekali berbagai hal yang terjadi. Tidak hanya muncul berbagai jargon politik, tetapi juga berbagai macam janji manis kepada masyarakat. selain itu muncul berbagai ideology-ideologi palsu terkait dengan semangat kedaerahan. Apakah semuanya itu bisa memberikan kemajuan? Mungkin ya dalam memanipulasi pikiran orang banyak.

Janji janji yang biasanya diungkapkan oleh para calon penguasa birokrasi selalu terkait dengan keadaan social ekonomi di masyarakat. kesejahteraan menjadi iming-iming yang sangat jitu diberikan kepada masyarakat. tidak hanya sampai disitu, berbagai pembangunan fisik dijanjikan untuk meningkatkangensi daerah, agar tidak tertinggal dari daerah lain. berbagai janji mulut manis yang sangat sulit untuk ditolak.

Kenyataan bahwa selama ini yang tampak hanya perkembangan ekonomi pada aras makro. Terdapat banyak kemajuan dalam pendapatan daerah dan investasi di Kalimantan Tengah. Bangunan dan berbagai infra struktur didirikan dan diadakan, sehingga tampak kian hari kemegahan fisik daerah semakin bertambah. Semua itu ditambah lagi dengan pendapatan perkapita masyarakat yang semakin naik tiap tahun.

Adakah yang bertanya, mengapa semua itu bisa mengalami perkembangan. Semua itu kebanyakan dibiayai dengan kesenjangan social yang meningkat. Perkembangan tersebut muncul karena adanya ketidakadilan social yang sangat memprihatinkan. Kemudian semua itu muncul karena adanya pembodohan tentang paradigma tentang pembangunan dan dongeng tentang daerah yang sejahtera. Lalu apakah semuanya itu bisa dikatakan sejahtera?

Memang bisa dikatakan ada kesejahteraan yang didapat, namun pertanyaanya siapa yang sejahtera? Kebanyakan adalah para penguasa, yang haus akan kekuasaan dan kekayaan serta kehormatan. Parahnya lagi, tidak sedikit para penguasa yang berasal dari kalangan birokrasi dan pejabat Negara yang turut andil di dalamnya. Lalu bagaimana bisa mensejahterakan masyarakat apabila menduakan hatinya antara kepentingan masyarakat dan kepentingan kesejahteraan pribadinya?

Mungkin hal ini adalah salah satunya faktor yang mebuat pekerjaan sebagai PNS menjadi saat bergengsi di mata masyarakat Kalimantan Tengah. Apabila keinginan akan pekerjaan ini didasari akan keinginan untuk melayani masyarakat tentunya akan memiliki hasil yang berbeda. Kenyataannya, hampir semua keinginan tersebut muncul karena keinginan untuk mencapai kemapanan diri sendiri. Dengan demikian akan snagat wajar apabila ternyata banyak penguasa birokrasi dan pejabat Negara yang berselingkuh dengan perusahaan-perusahaan dan berbagai penguasa lainnya ketimbang setia kepada masyarakat.

Mengorbankan Saudara Sendiri

Realitas yang patut disayangkan dalam fenomena dari keadaan yang telah dipaparkan sebelumnya adalah keberadaan masyarakat local, terutama dayak ngaju sendiri. Banyak orang-orang yang berasal dari masyarakat dayak ngaju yang memiliki jabatan penting dalam birokrasi, dan berbagai organisasi lainnya yang berpengaruh di Kalimantan tengah. Kebanyakan dari penguasa dalam pemerintahan adalah “uluh itah”. Lalu bagaimana mereka memposisikan diri mereka dalam perang modern saat ini?

Tidak sedikit dari mereka yang melakukan berbagai cara untuk mendapatkan kekuasaan. Cara tersebut tidak terkecuali dengan mengorbankan orang lain termasuk saudara sesukunya. Pengorbanan tersebut memang tidak lagi dilakukan dengan cara tradisional. Pada saat ini caranya sudah berubah dengan cara berdiri di atas penderitaan orang lain. tidak lagi menggunakan Kayau mengayau tetapi menginjak orang lain.

Memang selayaknya perlu berpikir untuk tidak menonjolkan rasa primordial. Tetapi yang perlu dicatat, para penguasa tersebut menggunakan lokalitas dan etnisitas untu mencapai tampuk kekuasaan. Berbagai janji dan ucapan manis yang keluar atas nama uluh itah, tetapi pada akhirnya uluh itah sendiri yang menjadi korban atas kepentingan pribadi mereka. Masyarakat dan saudara sendiri menjadi batu loncatan yang setelah terpakai dibuang begitu saja.

Fenomena yang sangat menarik akan didapat terutama ketika pemilliha umum. Banyak sekali calon penguasa yang memobilisasi massa dalam jumlah yang sangat besar. Kepada mereka diberikan suatu “kemurahan hati” yang untuk mengikuti kampanye dengan imbalan baju dan uang bensin. Kemudian para calon penguasa dengan entengnya berkata “sama arep kabuat” untu merayu para pemilih, yang entah secara sadar maupun tidak sadar nantinya akan ditinggal apabila kekuasaan sudah didapatkan.

Dalam skala yang lebih besar, banyak sekali hal yang lebih memprihatinkan. Pemerintah yang notabene dipegang oleh orang-orang local, mengumandangkan pembangunan yang berorientasi pada pembangunan ekonomi. Dengan cekatan mereka mengundang banyak penguasa nasional maupun internasional untuk berinvestasi di Kalimantan Tengah. Dampak yang dirasakan adalah pengerukan SDA yang hasilnya bahkan kurang dirasakan secara merata bagi masyarakat.

Orientasi pemerintah pun sekarang lebih kepada bagaimana meningkatkan ekonomi daerah. Berbagai perusahaan diberikan kemudahan dan kelancaran dalam mengeruk SDA, tetapi untuk pengembangan masyarakat saja amburadul, bahkan hampir tidak dirasakan. Lalu kesejahteraan seperti apa yang akan diraih masyarakat? apakah masyarakat Cuma jadi batu pijakan yang digunakan untuk menggapai rupiah demi rupiah yang digantung di atas kepala mereka demiki kepentingan pribadi?

Sementara itu dengan berbagai kesombongan banyak para penguasa melanggeng dalam pucuk jabatannya. Apakah ada anggota DPR yang duduk ngopi dan berbicara kepada masyarakat? apakah ada para pejabat guberbur atau bupati yang jalan kaki keluar rumah dan melihat realitas yang ada di sekitarnya? Mereka sudah terlalu enak di tengah kemegahan mereka, sementara saudara-saudaranya merasakan hidup yang sebaliknya karena ketidakadilan yang mereka ciptakan.

Lalu bagaimana falsafah rumah betang yang seringkali mereka gunakan sebagai salah satu amunisi andalan? Semua itu hanya akan menjadi suatu falsafah tanpa bisa diwujudkan. Kenangan yang tidak terlupakan tetapi hanya sebagai kenangan dan angan-angan masa depan. Sekarang uluh itah yang menjadi penguasa lebih senang melihat saudara-saudaranya sendiri menderita karena mereka gunakan sebagai korban untuk meraup kekayaan, kekuasaan dan kehormatan.

Tinggalkan komentar

Tinggalkan komentar