Solusi Kesejahteraan Dalam Pembangunan Masyarakat Kalteng? (ditulis tanggal 22 november 2010)

Suatu hari ketika kembali di tanah kelahiran Borneo, yang terasa adalah rasa bahagia. Sangat wajar karena kesempatan untuk pulang hanyalah satu tahun sekali. Ketika memasuki pulau borneo tercinta langsung tercium bau kayu-kayuan dan alam yang sangat segar dan membuat diriku serasa pulang kembali ke rumah. Langkah menuju rumahpun ku ayunkan dengan penuh semangat.

Pemandangan alam pun tidak luput dari pandanganku selam perjalanan. Sepanjang jalan, hutan yang masih hijau dan alami sangat nyaman dipandang mata. Alangkah bangganya aku akan tanah kelahiranku. Walaupun demikian aku sering bertanya dalam diri sendiri, sampai kapan semua ini bisa kunikmati? Maklum disaat ini sangat gencar diadakan pembangunan fisik dimana-mana.

Ketika memasuki suatu kawasan mataku menjadi terpaku pada suatu pemandangan yang baru untukku. Tampak sebuah perkebunan dengan komiditas tanaman yang terhampar luas. Tamana sawit yang tertata rapi dan dalam keadaan yang subur tumbuh menjulang, di kedua sisi jalan, seakan menjadi panitia penyambutanku di tanah kelahiran. Aku lebih terdiam lagi ketika melihat betapa luasnya perkebunan sawit tersebut. Ketika melewati sebuat bukit, tampak bahwa perkebunan tersebut seolah tidak berujung, menyelimuti seluruh tanah di daerah tersebut.

Sekitar 5 menit kemudian mobil yang aku tumpangi keluar dari kawasan perkebunan tersebut. Suasana kembali ke hutan yang hijau. Di pinggir jalan sesekali tampak penduduk lokal berjalan kaki. Ada seorang perempuan tua dengan pakaian yang cukup lusuh, membawa lontong (tas dari rotan) yang berisikan rebung. Di belakang perempuan itu seorang anak kecil membawa kayu bakar yang jumlahnya tidak banyak. Keduanya berjalan tanpa menggunakan alas kaki.

Tidak lama kemudian tampak rumah-rumah yang terdapat di kiri dan kanan jalan. Ukuran rumah-rumah itu tidaklah besar. Semuanya terbuat dari kayu dan beberapa di antaranya tamapak dari kayu yang sudah tua, lapuk dan memprihatinkan. Di beberapa rumah terlihat beberapa orang anak bermain di halaman dengan mainan yang terbuat dari kayu dan dahan pisang.

Beberapa jam kemudian aku sampai di palangkaraya, kota kelahiran tercinta. Mulai dari pinggiran kota mulai tampak bangunan dan ruko-ruko yang terbuat dari semen. Bangunan tersebut makin banyak dan tampak dimana-mana ketika masuk ke dalam pusat kota. Terlihat pula banyak anak muda yang lalu lalang dengan kendaraan bermotor, mulai dari pelajar sampai anak muda yang berpasangan, menaiki kuda besi yang tampak banyak sekali di kota.

Sampai dirumah, tentunya sangat menyenangkan, bertemu dengan sanak keluarga. Melepaskan kerinduan dengan orang tua, keluarga, dan teman-teman karena dalam waktu yang lumayan lama tidak dijumpai. Walaupun begitu, teap saja ada sesuatu yang mengganjal. Pemandangan yang kulihat selama di perjalanan selalu mengganggu. Untuk mengurangi ganjalan tersebut, aku mulai membaca berbagai literatur dan bacaan tentang sawit dan pembangunan di kalteng, dari buku maupun internet. Keadaan itu seringkali terulang, sambil bertanya-tanya, ada apakah dengan kalteng, bumi tambun bungai tercinta.

Bukan Berbicara Teoritis : Melihat kemampuan Mulut

Masalah perkebunan sawit banyak diperbincangkan, bahkan diperdebatkan. Tidak hanya oleh kalangan akademisi yang berada di kampus, tetapi juga bahkan oleh para pejabat bahkan rakyat kecil. Banyak sekali orang yang meninjau dari berbagai aspek. Lebih dari itu banyak sekali teori yang digunakan untuk melihat keberadaan sawit, baik yang arahnya pro maupun kontra.

Tinjauan teori tersebut tidak hanya dari ilmu ekonomi, tetapi juga dari ilmu hukum, sosial kritis, sosiologi, psikologi, dll. Semuanya itu seringkali dipakai untuk memperkuat argumen masing-masing tentang masalah perkebunan sawit, khususnya di Kalimantan Tengah. Tidak cukup teori, seringkali juga berbagai contoh masalah di tempat lain pun di paparkan pula.

Tidak masalah ketika berbicara tentang teori. Tidak menjadi suatu hal yang salah ketika berbicara secara ilmiah. Tetapi semua itu akan menjadi masalah ketika semua itu tidak memberikan dampak pada kehidupan yang nyata di masyarakat. Seringkali teori hanya menjadi teori. Tidak kalah juga, teori itu punya kesenjangan dengan praktek, dengan kenyataan. Lalu apa gunanya teori apabila Cuma berakhir di mulut saja?

Banyak sekali orang yang berkoar-koar tentang teori yang tinggi sekali. Saking tingginya teori itu, tampak jauh mengawang-awang hingga hampir tidak mungkin mencapai kenyataan. Tidak sedikit anak muda, kaum terpelajar, aktivis, yang mengagung-agungkan teori. Lalu apabila kenyataannya teori itu Cuma menjadi pemanis mulut di depan orang lain, apa gunanya teori itu buat masyarakat?

Selama ini sudah banyak orang yang terlalu berteori, tetapi hanya berakhir di mulut, yang akhirnya tersangkut di gigi dan kemudian ditelan kembali. Apakah semua itu bisa menyelesaikan masalah yang ada di Bumi Kalteng? Sangatlah wajar ketika dikatakan bahwa masyarakat di Kalteng terbelakang oleh daerah lain apabila kenyataan yang ada demikian adanya. Ada mungkin hal yang tidak terbelakang, tetapi cuma kemampuan berbicara saja yang lestari, bukan yang lainnya.

Ketika terjadi berbagai masalah seringkali hanya diselesaikan hanya dengan hal-hal yang berujung tidak membawa pengaruh apa-apa. Apa pengaruhnya mahasiswa di palangkaraya yang berbicara tentang teori Marxis yang kemudian berdemo mengkritik pemerintah? Lalu apa gunanya seminar dan penyuluhan tentang berbagai hal yang diadakan tetapi hanya sekedar acara untuk rutinitas atau hebat-hebatan?

Semuanya itu hanya kemampuan mulut. Kemampuan yang membangkitkan semangat, tetapi semangat yang semu. Semangat yang tidak ada jiwa, yang dalam waktu relatif singkat padam layaknya api yang disiram sedikit demi sedikit. Kemampuan mulut itu sendiri malah menjadi suatu keuntungan para birokrat rakus untu melanggengkan kekuasaan, tanpa menggunakan kemampuan mulut yang teoritis. Mungkin perlu jargon ”bangunlah Mulut yang Cakap Untuk Membangun daerahmu”, baru Kalteng bisa maju dalam dunia ”adu mulut”.

Teori Berbanding Terbalik Dengan Kenyataan

Seringkali di ungkapkan ”Mari membangun perekonomian di Kalimantan Tengah” di berbagai tempat, berbagai acara, momen, dan setiap ada kesempatan, yang dilakukan oleh petinggi-petinggi. Orang yang mendengarkannya pun Cuma mangangguk-angguk dan yang mengucapkannya dengan bangga membusungkan dada layaknya orang yang mengerti apa yang dia ucapkan. Apakah dia bisa jawab ketika ditanya ”apa itu pertumbuhan ekonomi?”.

Setiap tahunnya gubernurpun menyatakan bahwa peningkatan ekonomi daerah kita semakin menunjukan hasil yang positif. Di katakan bahwa daerah kita semakin maju, kesejahteraan penduduknya terus meningkat. Semua itu dikatakan dengan muka bangga. Tetapi apakah kita punya kesempatan bertanya secara langsung di depan khalayak ”kesejahteraan masyarakat yang mana?”

Secara teori mungkin Kalimantan Tengah memang menuju suatu perubahan yang positif. Pertanyaannya ”apakah kenyataan berbicara demikian?” apakah sudah ada kajian tentang kemajuan ekonomi dengan melihat kenyataan yang ada di masyarakat. Lebih lanjut, apakah kemajuan ekonomi pasti disertai dengan kesejahteraan yang meningkat di masyarakat?

Saya sendiri menjadi bertanya-tanya, apa yang dimaksud dengan kesejahteraan oleh para birokrat dan para staff ahli ekonominya yang merancangkan ”master plan” Kalteng, bumi kelahiranku. Kesejahteraan itu ditandai dengan banyaknya mobil dan kendaraan mewah, sementara dipinggir jalan banyak pengemis yang meminta-minta dengan pakain lusuh dan keadaan yang memprihatinkan? Ataukah rumah pejabat yang besar dan mewah dengan fasilitas yang lengkap, sedangkan di sampingnya ada rumah yang terbuat dari kayu dan hampir rubuh?

Fenomena yang tampak adalah suatu kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Bukannya ingin menjadi seorang yang sosialis, tetapi apakah pantas yang disebut dengan kesejahteraan itu berarti yang kaya berada di atas yang miskin? Apabila memang demikian, betapa hinanya kesejahteraan itu sendiri. Sungguh tidak pantas ada terutama di tanah kelahiranku yang konon katanya memiliki masyarakat yang perduli satu sama lain. Lebih baik tidak ada kata kesejahteraan.

Kembali dalam fokus awal pembicaraan. Apabila tadi adalah gambaran mengenai kawasan perkotaan, lalu bagaimana dengan keadaan di perkebunan sawit? Apakah terdapat kesejahteraan di sana? Apakah keadaan masyarakat di sana lebih baik dengan adanya perkebunan tersebut?

Luas perkebunan Sawit di Kalimantan Tengah seluas kurang lebih 3 juta ha. Semua itu tersebar di berbagai daerah di Kalteng. Pembukaan lahannya pun melalui persetujuan dari pemerintah. Lalu bagaimana prosesnya? Apakah ada masalah?

Pembukaan lahan untuk perkebunan sawit sendiri banyak membuat masalah. Isu yang menjadi sentral adalah keterpinggiran masyarakat lokal, dan juga tanah adat. Cukup dengan melihat hal ini apakah demikian yang namanya kesejahteraan? Masyarakat loka hidup dari alam sekelilingnya. Apabila semua itu diambil, bagaimana mereka menjalani hidup mereka?

Masalah seperti ini sudah terjadi bertahun-tahun, tetapi dari pemerintah sendiri tampak kurang perduli. Sering kali kemampuan mulutlah yang mereka gunakan untuk meredakan masalah. Tapi apakah masalah selesai hanya dengan tindakan seperti itu? Banyak sekali masyarakat yang tidak mengecap hasil dari pengerukan SDA tersebut, padahal semua itu dilakukan di tanahnya sendiri. Mereka bagai dijajah dirumah oleh orang asing, yang dibantu oleh saudaranya sendiri. Suatu pengkhianatan yang benar-benar melukai hati.

Fenomena yang muncul di masyarakat hanya kesengsaraan, suatu kemajuan tetapi wujud aslinya adalah kemunduran. Yang terjadi hanyalah keterpinggiran, marjinalisasi, ketidakadilan, perampasan, perampokan, pemerkosaan alam, dan masih banyak lagi. Lalu apa tindakan pemerintah? Cuma diam dan ketika sudah muncul konflik mengeluarkan kemampuan mulutnya?

Lalu bagaimana dengan teori-teori tentang pembangunan dan ekonomi yang digunakan pemerintah untuk ”mensejahterakan” rakyat? Apakah itu berhasil? Ataukah Cuma memberikan kesengsaraan. Lalu apakah perkataan-perkataan tentang kesejahteraan yang diucapkan oleh para birokrat dan akademisinya yang berdasarkan pada teori itu benar? Apakah semua itu untuk menghapus semua kenyataan yang ada. Jelas teori yang mereka katakan malah berbanding terbalik dengan kenyataan di masyarakat.

Apa Yang Menjadi Fokus Pembangunan?

Melihat berbagai fenomena dan realitas yang ada di Kalimantan Tengah, perlu ditinjau lagi apa yang menjadi fokus pembangunan Kalteng. Fokus yang sering ungkapkan adalah pembangunan ekonomi. Semua itu terlihat dari perniagaan dan investasi yang berkembang di Kalteng. Kembali lagi semua itu dilakukan dengan iming-iming kesejahteraan di masyarakat.

Semua itu rasanya harapan yang menjadi suatu keraguan, atau mungkin saja kekecewaan. Jelas saja, bagaimana mungkin membangun kesejahteraan masyarakat dengan ekonomi, sementara kesenjangan antara yang kaya dan miskin malah semakin besar. Lalu siapa yang sejahtera? Lebih jauh, mengapa terjadi ketidakadilan distribusi sumber ekonomi? Lalu bagaimana masyarakat sejahtera dengan keadaan demikian?

Sebagai contoh, sekarang yang menjadi lahan empuk dalam bidang ekonomi di Kalimantan Tengah adalah perkebunan sawit. Banyak sekali investor asing yang tergiur dengan potensi tersebut. Tentunya pemerintah akan memberikan kesempatan kepada investor yang akan memberikan keuntungan paling besar. Layaknya seorang pelacur yang menawarkan dirinya kepada pelanggan yang memberikan bayaran paling besar untuk bercinta.

Keadaan yang menjijikan demikian tidak pantas menjadi fokus dalam pembangunan. Tidak hanya sampai disitu, pertanyaannya ”apakah ekonomi sebagai fokus pembangunan, akan memberikan solusi dalam pembangunan Kalteng?” apakah kalteng hanya akan menghasilkan banyak orang kaya, tetapi bodoh dan menjadi pesuruh bagi orang asing, menjadi budak di tanah sendiri?

Kenyataan demikian seharusnya mendorong semua pihak, khususnya pemerintah untuk mengkaji dan memperbaiki rencana pembangunan yang ada. Apabila hal demikian diteruskan, bisa saja layaknya orang buta yang berjalan maju terus, tetapi tidak sadar ternyata berjalan ke jurang yang dalam dan penuh dengan batuan tajam. Yang ada hanyalah kehancuran. Pertanyaannya, apakah kesejahteraaan sama dengan kehancuran?

Mungkin keadaan seperti ini bisa menjelaskan mengapa Kalteng saat ini memiliki pembangunan fisik dan ekonomi yang kuat, tetapi seperti bekerja sambil kehilangan pikiran. Kesadaran yang rendah dan kemampuan mulut yang makin meningkat. Hanya tampilan fisik yang muncul tetapi kemampuan sama dengan nol, sehingga semakin tertinggal dengan daerah lain. Pembangunan macam apa yang dijalankan apabila hasilnya demikian? Apakah pembangunan, membangun apa saja asalkan menghasilkan uang?

Rumah Betang Yang Lapuk

Seringkali pula dalam suatu kampanye atau panggung politik, jargon rumah betang disebutkan. Sering pula rumah betang diidentikan dengan kebersamaan. Membangun kesejahteraan bersama di dalam persaudaraan. Tetapi apakah semua itu dimengerti oleh orang yang mengucapkannya? Semua diucapkan hanya untuk memunculkan semangat lokalitas, yang Cuma membuat gendut para birokrat, yang seringkali memakan saudara sendiri.

Lalu apabila demikian, dimana letak kebersamaannya? Apakah kebersamaan untuk saling memakan sesama? Kebanyakan orang yang memegang peranan penting di masyarkat adalah orang lokal. Kenyataannya ketika masyarakat lokal berbenturan dan bermasalah dengan perusahaan sawit dan berbagai masalah lainnya, mereka seringkali malah membela perusahaan dan pemerintah, bukan saudara mereka sendiri.

Dulu semangat rumah betang dimaknai tidak hanya dalam ucapan, tetapi juga dengan tindakan sehari-hari yang nyata. Sekarang filosofi itu dipakai untuk merayu sesama dan saudara sendiri agar mau dimakan, demi mengenyangkan ego masing-masing. Semua iitu tidak hanya terjadi di dunia politik, tetapi juga bahkan hampir di semua aspek dalam masyarakat.

Layaknya sebuah rumah besar dan terkenal yang sudah lapuk. Penghuninya mulai meninggalkannya, tetapi tetap menggunakan nama dan ketenaran rumah itu demi kepentingan pribadi. Orang di dalam rumah itu sendiri sudah tidak akur. Ada yang saling menjatuhkan, memfitnah, bahkan memakan saudara sendiri. Rumah betang yang nyaris rubuh. Itulah relitas dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Tengah.

Tinggalkan komentar

Tinggalkan komentar